Berita

NII DAN ISLAM POLITIK

Islam politik bukan merupakan isu baru. Namun, salah satu varian perwujudan Islam politik kembali mengemuka selama beberapa bulan terakhir saat isu Negara Islam Indonesia (NII) menjadi hidangan opini dan wacana keseharian publik.

Demikian terungkap dalam bedah buku “Demokrasi dibawah bayangan mimpi Negara Islam Indonesia: Dilema Politik Islam dalam Peradaban Moderen”, di Kampus Terpadu UMY, Sabtu (28/5). Buku tersebut merupakan karya Guru Besar UIN Sunan Kalijaga , Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan bersama Prof. Dr. Bilveer Singh, Guru Besar Nanyang Technology University of Singapore yang juga Penasehat Departemen Pertahanan Singapura. Hadir pula pembicara dari Majelis Pendidikan Kader (MPK) PP Muhammadiyah, Asep Purnama Bahtiar, S.Ag., M.Si, dan Anggota Polda DIY, Kompol Ahmad Hanafi, serta Dosen Ilmu Hubungan Internasional, Surwandono, M.Si.

Acara tersebut diselenggarakan Pusat Studi Muhammadiyah dan Perubahan Sosial Politik  Lembaga Pengembangan Pendidikan, Penelitian, dan Masyarakat (LP3M )UMY bekerjasama dengan MPK PP Muhammadiyah.

Perjuangan Islam politik gaya Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, sebagai imam NII sejak 1962 masih terus tumbuh berkembang dan melakukan kontekstualisasi perubahan zaman. Dalam Islam politik ini, untuk mendapatkan dukungan luas dari umat Islam telah memasuki ranah teologi. Menyatunya paham Islam politik dan doktrin teologi ini agaknya telah mengakar kuat pada sebagian masyarakat Islam. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa 90% penduduk Indonesia adalah Islam dan Indonesia adalah Negara dengan pemeluk Islam terbesar di dunia.

NII memiliki akar sejarah cukup panjang, dan terlahir dalam situasi peminggiran Islam politik. Namun dalam perjalanannya, NII mampu mereproduksi diri dalam situasi yang setiap jaman berubah. Abdul Munir mengungkapkan NII telah melakukan kontekstualisasi gerakan. Jika sebelumnya gerakan Islam Politik ini hanya dapat hidup pada pusat – pusat aktivitas dan komunitas Islam seperti masjid, sekolah, hingga pesantren, namun dalam perkembangannya juga mampu hidup di mall yang dianggap sebagai simbol kapitalisme dan liberalisme.

Demikian juga aktivisnya, rekrutmen tidak dilakukan terbatas hanya pada kelompok yang memang sejak awal memiliki pandangan ideologis, kini telah merambah dunia pendidikan di Perguruan Tinggi. Bilveer menambahkan bahwa ancaman kekerasan dapat terjadi di seluruh agama. Sebagai Negara yang 90% penududuknya memeluk Islam, Islam tidak pernah berkuasa di Indonesia sehingga Ia menanyakan apakah ada disconnected antara struktur, budaya, agama, dan politik sehingga NII mencari alternatif akibat kegagalan sekuler.

Sementara itu, Surwandono menyatakan kegagalan politik Islam dalam mendefinisikan antara musuh dan kawan menimbulkan Islam politik sering melakukan iritasi terhadap sistem kebangsaan. Upaya mewujudkan politik islam menjadi system kenegaraan dalam  kehidupan kebangsaaan telah jauh terjadi sebelum Indonesia diproklamasikan. Hanya saja dalam rentang sejarahnya melalui metode yang bervariasi.