Ketimpangan sosial, konflik berkepanjangan, dan paradigma pembangunan yang tidak inklusif masih menjadi persoalan utama dalam lanskap global saat ini. Isu-isu tersebut menjadi fokus utama dalam The 11th International Students Conference on Humanitarian Issues (ISCOHI) yang diselenggarakan oleh Program Magister Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Sabtu (17/5), di Gedung Pascasarjana UMY.
Mengusung tema “Bridging the Gap: Addressing Inequality, Conflict, and Development Paradigms”, konferensi ini menghadirkan tiga pembicara dari Indonesia dan Filipina, yakni: Prof. Dr. Melvin Allena Jabar (Profesor Sosiologi, De La Salle University Manila), Prof. Dr. Ma. Teresa G. De Guzman (Dekan Fakultas Ilmu Sosial, University of the Philippines), Assoc. Prof. Dr. Takdir Ali Mukti, M.Si (Dekan FISIPOL UMY). Acara ini juga diikuti oleh 61 peserta dari berbagai universitas, baik dalam maupun luar negeri.
Dalam presentasinya, Prof. Melvin menyoroti fenomena dinasti politik di Filipina sebagai akar dari ketidaksetaraan dan kemiskinan ekstrem. Ia menjelaskan bahwa daerah yang kaya sumber daya justru cenderung miskin apabila didominasi oleh keluarga politik tertentu.
“Semakin kaya sumber daya suatu wilayah, semakin besar pula risiko kemiskinan jika dikuasai oleh dinasti politik,” ujarnya.
Ia juga mengaitkan keberadaan dinasti politik dengan isu perdagangan manusia, minimnya investasi di sektor pembangunan manusia, hingga kekerasan politik, termasuk pembunuhan dalam masa pemilu.
“Di beberapa daerah, suara pemilih dihargai 100 hingga 300 dolar. Pemilu pun bergeser menjadi transaksi ekonomi, bukan lagi proses demokratis,” tambahnya.
Sementara itu, Prof. Teresa menekankan pentingnya penggunaan pendekatan emik dan etik dalam kebijakan pembangunan, terutama yang melibatkan komunitas adat.
“Pendekatan emik mempertahankan kearifan budaya lokal, sedangkan pendekatan etik memberikan dasar hukum dan advokasi yang kuat,” jelasnya.
Ia menyoroti bahwa pembangunan infrastruktur seringkali berdampak negatif terhadap situs budaya, area pemakaman adat, hingga kawasan hutan sakral. Oleh karena itu, menurutnya, diperlukan pendekatan heritage forensic sebagai penghubung antara ilmu forensik dan nilai-nilai budaya.
“Di Filipina, seorang ahli forensik harus terlebih dahulu mendapat izin ritual dari tetua adat sebelum melakukan penggalian jenazah. Jika tidak, hal tersebut dianggap melanggar adat dan bisa menimbulkan konflik,” tegasnya.
Konferensi ISCOHI ke-11 ini mempertegas urgensi membangun paradigma pembangunan yang berkeadilan, berbasis kearifan lokal, dan sensitif terhadap dinamika sosial-politik. UMY melalui forum internasional ini terus berupaya mendorong partisipasi aktif mahasiswa dan akademisi dalam merespons isu-isu kemanusiaan lintas negara dengan pendekatan yang inklusif dan transformatif. (Mut)