Seorang tokoh pendidikan dari Universitas Zaytuna Tunisia, Prof. Dr. Muhammad Al Mestiri mengatakan bahwa pasca terjadinya Arab Spring, memunculkan tantangan baru bagi negara-negara dengan penduduk mayoritas Islam. Dalam penyampaiannya pada seminar Internasional yang diselenggarakan oleh Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Kamis (13/10) di Ruang Sidang pascasarjana UMY lantai 1, Prof. Al Mestiri menyamapaikan bahwa permasalahan baru yang dialami bagi Negara yang baru mengalami Arab Spring yaitu banyaknya kemunculan pergerakan Islam di berbagai negara mayoritas penganut Islam, serta mempersempit hak wanita dalam berpolitik.
“Kemunculan pergerakan Islam memberikan tantangan baru bagi negara-negara yang berdampak Arab Spring. Seperti yang diketahui, pada fenomena kemunculan Arab Spring ini rakyat menuntut pemimpin diktator untuk memimpin secara demokratis. Sedangkan permasalahan yang nyata dengan adanya revolusi sistem yang dihasilkan dari Arab Spring tersebut yaitu ada pada pergerakan Islam itu sendiri,” tandas guru besar Tunisia tersebut.
Prof. Al Mestiri menambahkan, tantangan yang dihadapi oleh masyarakat muslim di berbagai Negara Arab yaitu bagaimana menyatukan demokrasi yang cenderung sekuler terhadap pergerakan Islam. “Kita tahu bahwa pergerakan Islam menggunakan sistem pemikiran Islam. Yang menjadi permasalahan saat ini, bagaimana agar gerakan Islam bisa menerima demokrasi itu sendiri, dan bagaimana membangun antara politik dan Islam sementara sistem demokrasi telah dipergunakan oleh negara-negara yang berdampak pada Arab Spring. Ini sulit dilakukan, karena sistem demokrasi berasal dari pemikiran sekuler,” jelasnya.
Fenomena Arab Spring sendiri yang terjadi pada tahun 2010 lalu bermula dari negara Tunisa yang kemudian merambah negara-negara Arab lainnya. Di Tunisia sendiri Arab Spring berlangsung dalam kurun waktu 2010 hingga awal 2011, fenomena Arab Spring tersebut berawal dari ketidakpuasan rakyat Tunisia kepada Presiden Tunisia Ben Ali. Prof. Al Mestiri mengatakan lebih lanjut bahwa selain tantangan pada pergerakan Islam, negara yang mengalami dampak dari Arab Spring tersebut juga mempersempit ruang politik bagi kaum wanita. Prof. Al Mestiri menyebutkan, munculnya karakteristik Imamah dalam sistem perpolitikan.
“Di Tunisia yang merupakan awal kemunculan Arab Spring ini memunculkan karakteristik gender yang dinamakan Imamah. Dengan kata lain, wanita tidak bisa menjadi imam (pemimpin, red) yang memerintah secara mutlak. Sehingga banyak gerakan-gerakan Islam, maupun ranah politik dikuasai oleh laki-laki. Dilihat dari dampak pasca fenomena Arab Spring ini diharapkan dapat memunculkan model baru dalam perpolitikan yang dapat menyatukan pergerakan Islam dengan sistem yang dipergunakan negara,” tutupnya. (hv)