Berita

SE Hate Speech Belum Miliki Batasan Jelas

Terbitnya surat edaran Kapolri tentang Hate Speech masih menjadi polemik di kalangan masyarakat, bahkan juga kalangan akademisi. Kalangan akademisi pun menilai, adanya SE (Surat Edaran) Hate Speech tersebut masih belum memiliki batasan yang jelas, hingga apabila tetap diterapkan bisa membahayakan. Definisi hate speech yang masih sangat luas ini pun masih dimaknai begitu sempit. Seharusnya, hate speech bukan hanya dibatasi pada presiden dan public figure saja, namun bisa diarahkan pula pada perilaku rasial, anti terhadap gender, perilaku seks, atau pada kelompok agama tertentu.

Sebagaimana disampaikan pakar Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Bambang Eka Cahya Widodo, S.IP., M.Si, saat ditemui di Jurusan Ilmu Pemerintahan UMY pada Kamis (5/11). Menurutnya, bentuk hate speech tersebut bermacam-macam. Misalnya, membenci orang karena kulitnya, rambutnya, agamanya, seksualitasnya, bahkan ketika membicarakan mengenai poligami dalam suatu grup dan membuat perempuan merasa tidak nyaman, itu juga termasuk kategori hate speech. “Artinya, permasalahan ini menjadi sangat luas dan itu harus ditegaskan. Karena sistem pengaturan regulasi kita tentang hate speech itu jauh dari cukup, jadi buatlah UU yang definitive dan tegas. Hate speech itu, tentu saja harus dibatasi dan diberikan sanksi bagi yang melakukannya, karena sebagian besar negara di dunia juga mempunyai undang-undang khusus yang mengatur tentang ini, misalnya tentang rasisme. Nah, sedangkan di Indonesia masih belum jelas, tiba-tiba saja muncul surat edaran Kapolri tentang hate speech ini. Padahal kita sendiri juga masih belum memiliki batasan yang jelas dan belum ada pengelompokan hal apa saja yang bisa dikategorikan sebagai Hate Speech, ini yang membahayakan,” jelasnya.

Mantan Ketua Bawaslu periode 2008-2011 ini pun mengakui jika kebebasan berpendapat (freedom of speech) memang merupakan salah satu unsur dari demokrasi. Tapi di sisi lain, pengaturan tentang hate speech di Indonesia sendiri masih sangat tradisional, kuno, lama dan lentur. “Jikalau hate speech ini menjadi persoalan besar di negara kita yang demokratis ini, sebaiknya buatlah UU khusus yang mengatur tentang itu. Misalnya dimasukkan dalam pembahasan KUHP, dengan syarat, peraturan tentang hate speech ini harus jelas,” tegasnya.

Bambang kembali melanjutkan, surat edaran yang dikeluarkan oleh Kapolri ini pasti ada tujuannya dan kepentingan dari kapolri itu sendiri. “Saya pikir, surat edaran ini masih belum cukup. Kapolri mungkin punya kepentingan, misalnya ingin mengurangi resiko konflik di masyarakat. Lagipula presiden punya pendukung, beliau bisa marah karena beliau dimaki-maki dengan cara tidak terhormat yang bisa menimbulkan gesekan di lapangan. Tapi, di sisi lain Kapolri perlu menyadari bahwa kerangka hukum dan perundang-undangan tidak sepenuhnya memberikan perlindungan terhadap objek dari hate speech. Dan
saya tegaskan kembali, bahwa hate speech ini bukan untuk figure presiden saja tetapi semua kalangan. Kita ini, sudah kebablasan dalam memaknai freedom speech yang akhirnya mengurangi kenyamanan kita dalam hal berdemokrasi. Kita ini belum punya kerangka hukum yang baik. Sudah ada akomodasi freedom speech namun belum ada batasan yang disesuaikan, “ tegas Dosen Ilmu Pemerintahan UMY ini lagi.

Bambang kembali menjelaskan, sebagai negara demokrasi, tentu saja kita punya hak untuk mengkritisi kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. “Pemerintah itu harus dikritik karena presiden itu bukan dewa atau nabi. Tapi terkadang kita tidak bisa membedakan antara kritik dan hate speech. Selain itu, masyarakat Indonesia sendiri terkadang berlebihan dalam mengungkapkan kritik, yang kemudian lebih mengarah pada menyudutkan pribadi seseorang bukan kebijakannya. Tapi, jika kita ingin mengkritik kebijakannya silahkan,” terangnya.

Lagipula, lanjutnya, Indonesia juga tidak memiliki tolak ukur soal mengungkapkan kritik dengan baik, sehingga seringkali terpeleset menjadi hate speech. “Kalau sudah menyerang harga diri, kehormatan, dan keluarga itu sudah masuk dalam ketegori hate speech. Yang menjadi persoalan besar adalah belum ada batasan yang jelas. Kapan presiden dikritik sebagai kepala negara, sebagai Jokowi, dan sebagainya. Ini perlu diperbaiki bersama, “ lanjutnya.

Menanggapi peraturan Hate Speech yang juga berlaku untuk pengguna media sosial, Bambang mengatakan, larangan melakukan hate speech tersebut juga bisa menjadi proses pendewasaan seseorang. Karena masih banyak orang menganggap bahwa media sosial itu media pribadi. “Namun, perlu kita ingat bahwa, sejatinya media sosial itu punya audiens, yang mungkin saja merasa tersakiti dengan pernyataan yang kita sampaikan lewat media sosial. Sebetulnya, masyarakat Indonesia ini masih gagap budaya. Di satu sisi kita sangat modern menggunakan media sosial, tapi di sisi lain kita masih tradisional dalam hal-hal penggunaannya, karena kita masih menganggap bahwa media sosial ini media curhat,“ jelasnya.

Kecuali, lanjutnya, seseorang itu bisa menolak semua pertemanan. “Tapi, begitu kita punya teman dan followers, artinya kita memiliki audiens. Dalam hal ini seharusnya ada keterlibatan dari UU IT. Sebetulnya kita ini masih mencari pola dan mencari bentuk. Jadi, sebenarnya kebebasan berpendapat kita ini tidak dibatasi sepanjang kita tidak menyakiti orang lain. Pertanyaannya akan lain lagi ketika orang merasa tersakiti oleh pendapat kita. Dan sebetulnya yang menentukan apakah seseorang itu merasa tersakiti dengan pendapat kita, bukan kita tapi mereka sendiri. Jadi, hal ini juga perlu ditindaklanjuti kembali,“ lanjutnya.

Sebetulnya, menurut Bambang, pemerintah juga sudah menyediakan wadah atau tempat bagi siapa saja yang ingin mengkritik kebijakan pemerintah. “Pertama, memberikan petisi, saat ini sudah banyak. Misalnya pada thechange.org di sana kita bisa berpendapat panjang lebar untuk mendapatkan dukungan, ini merupakan cara yang masih terhormat. Kedua, kita bisa mengirimkan surat ke parpol, DPR, atau presiden tentang persoalan kita. Dan tulislah persoalan kita itu secara lengkap agar tidak dianggap surat kaleng, “ tuturnya.

Bambang menuturkan lagi, bahwa cara domonstrasi atau unjuk rasa juga menjadi pilihan yang tepat. “Apalagi dilindungi oleh UU bahkan polisi tidak bisa melarang selama dalam jalannya demontrasi tidak ada kata yang menyinggung orang yang di demo. Menulis artikel di koran juga menjadi sebuah cara untuk mengadu atau mengkritik kebijakan. Tapi yang perlu kita ketahui bersama, batas mengkritisi dan menghina itu beda tipis, jadi perlu hati-hati,“ tutupnya. (Ica)

Share This Post

Berita Terkini