Berita

Program Asimilasi Narapidana Harus Tepat Agar Masyarakat Tidak Panik

Program asimilasi yang dilaksanakan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) karena pandemi COVID-19 kembali menuai polemik. Pasalnya terdapat narapidana yang telah dibebaskan, kembali melakukan tindak kriminal. Per 14 April setidaknya telah terjadi tindak kejahatan yang dilakukan oleh 13 orang mantan narapidana yang keluar. Melihat hal itu, pakar hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) mengatakan bahwa mekanisme kontrol mantan narapidana dan sosialisasi kepada masyarakat perlu dikaji kembali. Agar tidak menimbulkan keresahan bagi masyarakat.

Dr. Trisno Raharjo, S.H.,M.Hum mengatakan bahwa masyarakat belum menerima informasi yang cukup mengenai berbagai hal yang menyangkut narapidana yang bebas. Trisno juga memaklumi ketakutan masyarakat karena tiba-tiba narapidana dikeluarkan dengan jumlah yang banyak.

“Sebenarnya karena jumlah yang keluar langsung begitu banyak dan angka-angkanya diberitakan, saya menganggap kekhawatiran masyarakat itu wajar. Lalu harus ada penjelasan kepada msyarakat, mengenai alasan kebebasan para narapidana secara terperinci,” katanya saat dihubungi oleh Biro Humas dan Protokol (BHP) UMY melalui sambungan telefon (13/4).

Dekan Fakultas Hukum UMY ini juga menambahkan pihak pemerintah dan kepolisian harus bisa menjamin semua pihak, baik itu masyarakat dan juga narapidana yang bebas.

Pihak berwajib harus berkoordinasi dengan perangkat desa yang di wilayah itu terdapat orang yang baru saja keluar dari lembaga pemasyarakatan (lapas) berkat program Kemenkumham. Lalu disampaikan juga secara jelas identitas, alamat tempat tinggal dan tindakan kejahatan orang tersebut. Hal ini dilakukan guna meningkatkan proses pengawasan di tingkat bawah.

“Harus ada penjelasan, mereka yang keluar ini kejahatannya apa. Kemudian dijelaskan juga bagaimana bentuk pengawasan yang dilakukan oleh pihak berwajib. Lalu identitas dari orang yang dibebaskan juga harus disebarluaskan,” imbuhnya.

Kemudian Trisno juga menegaskan bahwa negara harus menjamin kehidupan para narapidana yang dibebaskan. “Mereka yang dikeluarkan dari lapas harus memiliki keluarga atau tempat untuk menampung jika tidak memiliki keluarga. Jika tidak ada tempat tinggal setelah bebas maka hal ini tidak sejalan dengan tujuan asimilasi untuk menyelamatkan tahanan agar tidak terkena wabah COVID-19. Lalu dana yang telah dianggarkan oleh lapas untuk mengurus narapidana di dalam penjara seharusnya dapat dialihkan untuk sementara membiayai kehidupannya. Maka saya tetap berpandangan mereka ini harus dipastikan memiliki keluarga,” tegasnya.

Tak hanya itu, di sisi lain menurut Trisno juga ada kesalahan berpikir. Pemerintah menganggap bahwa dengan dikeluarkannya para narapidana maka negara akan hemat. Hitungan negara akan hemat itu berasal dari uang makan para narapidana yang bebas. “Seharusnya dana itu diberikan kepada narapidana yang di luar untuk bertahan hidup, karena hal ini tetap harus dipandang sebagai satu bagian untuk mencegah yang sudah keluar untuk tidak melakukan kejahatan. Dana yang dberikan itu juga dapat membantu keluarga narapidana untuk bertahan hidup. Jika hal itu dilakukan, maka tdak ada lagi alasan mereka kembali melakukan kejahatan,” pungkasnya. (Ak)

Share This Post

Berita Terkini