Berita

Pemirsa Infotainment di Yogyakarta cenderung kritis

Infotainment merupakan jenis tayangan televisi yang cukup populer dewasa ini. Tingginya popularitas jenis tayangan ini bisa dibuktikan dengan semakin beragamnya nama tayangan infotainment yang menemui pemirsa. Meskipun demikian, namun keberagaman nama ini tidak diikuti oleh keberagaman format acara infotainment. Anehnya di tengah kualitas infotainment yang begitu-begitu saja, infotainment tetap digandrungi para pemirsa.

Fenomena itulah yang melatarbelakangi dua Dosen Ilmu Komunikasi FISIPOL Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Tri Hastuti Nur R, M.Si dan Fajar Junaedi, M.Si melakukan penelitian yang berjudul “Banalitas Informasi dalam Jurnalisme Infotainment di Media Televisi dan Dampaknya terhadap Penonton Infotainment”.

Penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui bagaimana banalitas informasi atau kedangkalan praktek jurnalisme dalam pemberitaan infotainment dan tanggapan khalayak (reception ) atas tayangan infotainment di stasiun televisi swasta nasional.

Menurut Tri Hastuti, melalui penelitian yang menggunakan metode etnografi komunikasi di tingkat proses decoding dan endcoding ini, diperoleh hasil yang memperlihatkan bahwa dalam proses produksinya, Infotainment seringkali mengabaikan prinsip etika jurnalistik. “Ini terbukti dengan seringnya kasus pertikaian antara kru infotainment dengan artis yang merasa dirugikan atas pemberitaan infotainment,” ungkap Tri di Kampus Terpadu, Selasa (2/3).

Tri mengungkapkan, pengemasan berita dalam infotainment juga telah menandai babak baru dalam jurnalisme yang dikendalikan oleh libido pasar (market driven journalism). Jurnalisme yang demikian membawa implikasi bahwa pemberitaan dalam infotainment adalah pemberitaan yang tidak berbanding dua belah pihak (cover both side.)

Lebih lanjut, Fajar Junaedi memaparkan dalam proses dekoding tayangan infotainment, khalayak di tiga kota yang diteliti memiliki kecenderungan berbeda. Khalayak di Yogyakarta (representasi kota Urban) cenderung penonton light viewers yang kritis terhadap isi tayangan infotainment. “Ibu-ibu di kota ini menyadari tentang bahaya infotainment bagi anak-anak dengan tidak membiarkan anak menonton infotainment sendiri,” paparnya.

Menurutnya, mayoritas penonton di Yogyakarta, adalah penonton ringan (light viewers) sebanyak 60% dan sisanya adalah heavy viewers. ”Penonton yang menonton lebih dari 3 jam dalam waktu satu hari adalah penonton kategori heavy viewers, sedangkan penonton yang menonton kurang dari 3 jam adalah light viewers,” urai Fajar.

Pada jam tayang sekitar jam 18.00 sampai dengan 22.00 WIB para penonton televisi di Yogyakarta, terutama kaum perempuan, menikmati suguhan dari layar kaca sebesar 91%. Perilaku menonton televisi di Yogyakarta di Yogyakarta dilihat dari teman menonton didominasi oleh suami dan anak sebagai teman menonton televisi yaitu 24% menyatakan bahwa mereka menonton televisi bersama suami dan anak.

Kebiasan menonton infotainment bagi penonton di Yogyakarta juga diikuti dengan kebiasaan perilaku untuk membicarakan berita yang ditayangkan infotainment sekitar 30% menyatakan bahwa mereka membicarakan infotainment dengan teman. Sebanyak 65% responden menyatakan bahwa tayangan di infotainment sebenarnya tidak memiliki nilai penting bagi kehidupan mereka. Kesadaran ini berbanding lurus dengan seluruh responden yang menyatakan bahwa infotainment tidak layak ditonton anak-anak. Alasan yang dikemukakan oleh responden beragam, namun memiliki titik temu yaitu infotainment dianggap sebagai tayangan yang tidak sehat bagi anak

Namun jika dilihat dari genre program acara yang paling sering ditonton, ternyata tayangan infotainment tidak masuk tiga besar dari tayangan yang paling sering ditonton. Berita, sinetron dan musik-lah yang menjadi tiga besar tayangan program televisi yang paling banyak ditonton oleh ibu-ibu di Yogyakarta ketika mereka ditanyai tentang program acara televisi yang paling sering ditonton.

Kecencerungan Penonton Infotainment di Klaten dan Sragen

Sementara di Klaten (Representasi kota suburban), penonton sebenarnya sadar tentang bahaya tayangan infotainment, namun mereka tetap saja menikmati waktu luang (leisure time) mereka diisi dengan menonton tayangan infotainment. “Penonton di kota ini sadar bahwa infotainment rentan dengan tayangan kekerasan dan karenanya tidak mengijinkan anak mereka menonton infotainment. Mereka sebenarnya kritis, namun mereka termasuk setia dalam menonton infotainment,” jelas Fajar.

Penonton infotainment di kota Klaten mayoritas adalah penonton kelas ringan yang menonton televisi maksimal 2 jam selama satu hari. Sebagaimana khalayak penonton televisi di Yogyakarta, penonton televisi di Klaten juga cenderung menonton tayangan televisi di jam tayang utama yaitu 65% responden menyatakan bahwa mereka lebih sering menonton televisi pada pukul 18.00 sampai dengan 22.00 WIB.

Jenis berita infotainment yang miring yang sering ditonton ini ternyata pararel dengan perilaku penonton infotainment di Klaten yang memang menyukai berita negatif tentang artis, daripada berita positif tentang artis.

Sekitar 60% responden menyatakan bahwa mereka memperbincangkan acara infotainment setelah menonton infotainment. Sedangkan sisanya, menyatakan mereka tidak membicarakan tentang isi berita infotainment setelah selesai menonton. Khalayak yang memperbincangkan isi infotainment di Klaten menyatakan bahwa mereka umumnya membicarakan isi infotainment bersama tetangga. ”Kultur agraris masyarakat Klaten yang masih diwarnai corak patembayan memungkinkan terjadinya interaksi sosial antaranggota masyarakat di Klaten untuk memperbincangkan isi tayangan infotainment,” terang Fajar.

Berbeda dengan Yogyakarta dan Klaten, penonton tayangan infotainment di Sragen (representasi kota rural) lebih berimbang antara heavy viewers dan light viewers. Jumlah khalayak yang menonton televisi dengan durasi waktu kurang dari 3 jam dan lebih dari 3 jam cukup berimbang .Namun sebagaimana di Klaten dan Yogyakarta, penonton di Sragen menyatakan bahwa mereka paling sering menonton infotainment pada jam tayang prime time. Data ini menunjukan bahwa khalayak di Sragen sampai dengan data ini bisa digolongkan khalayak pasif.

“Berbeda dengan di Sragen dimana khalayaknya secara intens mengkonsumsi tayangan infotainment dan mengabaikan anak saat menonton televisi, sebagaimana terlihat dari pola perilaku menonton televisi yang mayoritas berisi menonton tayangan infotainment sendiri dan tidak bersama anak. Padahal mereka sebenarnya sadar bahwa infotainment rentan dengan adegan kekerasan dengan menyatakan bahwa mereka tidak mengijinkan anak mereka menonton infotainment sendiri,” ujar Fajar.

Di Sragen, mayoritas khalayak yaitu sebesar 32 orang atau 64 persen menyatakan bahwa mereka paling sering menonton tayangan infotainment. “Di sini terlihat ada potensi pengabaian terhadap perilaku melek media dengan membiarkan anak menonton infotainment sendirian. Ini juga menunjukan adanya kecenderungan khalayak pasif di Sragen,” jelas Fajar.

Dengan melakukan penelitian tersebut, keduanya menegaskan apabila yang lebih mendesak untuk segera diperhatikan adalah kesadaran penerapan etika jurnalisme saat meliput berita yang akan dijadikan konsumsi infotainment. Menjawab pertanyaan dalam mekanisme pencarian berita merupakan hak, bukan kewajiban yang menjadi sebuah keharusan untuk dipenuhi oleh sumber berita. ”Selain itu, sebagian besar pemirsa infotainment sebenarnya merupakan penonton yang negotiated reading, bahkan kritis terhadap tayangan acara sinetron baik terhadap isinya sendiri maupun programnya yang diuang-ulang dan bahkan beritanya sama antara satu stasiun televisi dengan stasiun televisi yang lainnya,” tandas keduanya.

Share This Post

Berita Terkini