Menurut OECD (Organization Economic Co-operation and Development) Indonesia menjadi negara yang konsumsi energinya akan meningkat dari tahun ke tahun. Data dari Indonesia Energy Outlook tahun 2010, berdasarkan skenario dasar, bauran permintaan energi final Indonesia di masa mendatang akan berasal dari bahan bakar minyak (BBM) 31,1 %, gas bumi 23,7%, batubara 15,2 % dan 30 persen dari berbagai Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Kondisi ini didukung dengan turunnya produksi minyak Indonesia sejak peak oil dari tahun 1977.
Hal inilah yang menyebabkan perlunya segera mengadakan sumber energi baru dan terbarukan untuk menggantikan energi yang berasal dari sumber bahan bakar minyak yang mulai habis. Energi ini dapat berasal dari Tenaga Surya, Angin, Hydro, Geothermal dan Biomass. Hingga tahun 2025, EBT diharapkan mencapai 23% penggunaannya. Namun hingga 2016 ini, Penggunaan EBT baru mencapai 8% di seluruh Indonesia.
Masalah ini diungkapkan oleh Ramadoni Syahputra yang hadir sebagai pembicara dalam Roundtable Diseminasi Hasil Penelitian yang diadakan oleh LP3M UMY di aula belajar LP3M Gedung D lt.2, Sabtu (19/11). Beliau menilai kebutuhan ini mendesak dan penggunaan EBT harus dikejar untuk mencapai 23% pada tahun 2025. “Produksi minyak terus menurun, sementara energi primer didominasi Migas. Fasilitas produksi pun sudah tua, eksplorasi juga membutuhkan waktu yang lama,”tambahnya.
Ramadoni mempresentasikan hasil risetnya untuk penggunaan energi baru dan terbarukan, salah satunya penggunaan PLT Angin untuk industri Batik di daerah sekitar pantai Bantul “PLT Angin merupakan solusi alternatif di wilayah pantai selatan Bantul untuk penyediaan sumber energi terbarukan,”ungkapnya menyimpulkan.
Ramadoni juga melakukan riset terhadap pemasangan panel surya yang dilakukan terhadap industri batik di bantul. Energi surya dipakai untuk pemasangan kompor batik yang digunakan untuk memasak lilin. Ramadoni melakukan perbandingan hasil biaya total bahan bakar yang dikeluarkan Antara Kompor minyak tanah, Kompor gas elpiji, Kompor listrik bersumber PLN, dan Kompor listrik bersumber panel surya untuk dua kompor batik. Hasilnya, Kompor listrik panel surya menghasilkan biaya paling rendah dalam konsumsi bahan bakar yang dihasilkan.
Namun demikian, meskipun telah terbukti konsumsi bahan bakar lebih hemat, namun biaya pengadaan nergi terbarukan masih mahal. Ini salah satu hambatan kami untuk meyakinkan masyarakat beralih ke EBT. “Memang kita akui sulit meyakinkan masyarakat untuk beralih energi, misalnya kepada pengusaha batik untuk berganti ke kompor yang bersumber pada panel surya. Mereka merasa tidak nyaman, karena sering tersetrum saat memasang kabel. Selain itu, biaya pengadaan alatnya pun masih cukup mahal saat ini,”tuturnya. (bagas)