Berita

Gagal panen picu kenaikan harga cabai

Kenaikan harga bahan pokok terutama cabai disebabkan karena produksi cabai yang berkurang serta pasokan yang juga terbatas. Produksi cabai yang terpusat di Jawa banyak mengalami kegagalan sehingga produksi serta pasokan cabai berkurang baik di pasar tradisonal maupun nasional.

Kenaikan harga bahan pokok terutama cabai disebabkan karena produksi cabai yang berkurang serta pasokan yang juga terbatas. Produksi cabai yang terpusat di Jawa banyak mengalami kegagalan sehingga produksi serta pasokan cabai berkurang baik di pasar tradisonal maupun nasional.

Demikian disampaikan Dekan Pertanian Universitas Muhammdiyah Yogyakarta (UMY), Ir. Agus Nugroho Setiawan, MP menanggapi kenaikan harga bahan pokok terutama cabai di Kampus Terpadu Selasa (13/6) siang.

Gagalnya panen dan menurunnya pasokan cabai ini dipengaruhi oleh banyak hal. Pengaruh iklim yang susah ditebak hingga sistem budidaya yang dilakukan petani. “Iklim yang susah ditebak ini menyebabkan cabai yang ditanam banyak mengalami kerusakan. Curah hujan yang masih tinggi bisa menyebabkan kerusakan bunga tanaman cabai,”urainya.

Terkait dengan sistem budidaya yang dilakukan petani cabai, menurut Agus kebanyakan petani berani mengambil risiko untuk mendapatkan produksi cabai yang tinggi. Petani seringkali menanam cabai lagi setelah panen dengan maksud agar segera memperoleh hasil panen yang tinggi. “Namun hal tersebut dapat menyebabkan siklus organisme pengganggu tanaman misalnya hama tanaman tidak berhenti. Siklus hama yang tidak berhenti dapat mempercepat kerusakan tanaman belum lagi curah hujan yang masih tinggi selain merusak bunga tanaman,”paparnya.

Dalam penuturannya, Agus berharap ke depan petani dapat mengusahakan pola penanaman cabai yang lebih baik untuk mengantisipasi pengaruh iklim yang susah ditebak. “Untuk mengantisipasi pola iklim yang susah ditebak tetapi tetap memproduksi cabai tinggi, petani bisa melakukan pola tanam out system atau di luar masa tanam di bawah naungan. Maksudnya dibawah naungan yaitu dengan menyediakan atap pada lahan tanaman cabai misalnya dengan menggunakan atap plastik.”jelasnya.

Selain itu petani juga harus bisa berhitung dengan pasar, memperhatikan kapan waktu harga tinggi. “Harga tinggi itu kan biasanya ketika tidak banyak orang yang menanam serta selalu berhubungan juga dengan situasi iklim. Melihat peluang tetapi harus diikuti dengan penggunaan teknologi seperti dengan sistem tanam di bawah naungan tersebut,”jelasnya.

Kemudian agar siklus bakteri pengganggu tanaman terputus petani diharapkan tidak langsung menanami kembali setelah masa panen. “Hal ini untuk memberi masa atau jeda agar hama tanaman tidak terus berkembang. Atau jika tetap menginginkan untuk menanam bisa dilakukan dengan sewa lahan. Itu jauh lebih aman. Setelah panen kemudian sewa lahan lain.”tambahnya.

Terkait mengenai regulasi harga cabai yang mungkin dilakukan pemerintah, menurut Agus hal ini sulit dilakukan. Kebijakan jangka pendek akan sulit dilakukan pemerintah. Agus menilai cabai merupakan jenis tanaman hortikultura yang tidak tahan disimpan. Selain itu di Indonesia tanaman ini kebanyakan dikonsumsi dalam bentuk segar. “Dibandingkan produk lain seperti beras atau minyak untuk cabai agak sulit jika ada penetapan harga. Karena cabai hampir selalu dikonsumsi segar. Cabai seringkali dipanen dan dikonsumsi segar sehingga membutuhkan distribusi yang cepat pula.”pungkasnya.

Disinggung mengenai adanya kemungkinan kenaikan harga cabai yang mendorng harga lainnya, Agus berpendapat hal itu kemungkinan tidak akan terjadi. “Menurut saya kenaikan harga cabai ini tidak akan mendorong kenaikan harga lain dilihat dari sesama komoditi misalnya beras dan lainnya. Tetapi jika terkait barang-barang yang berhubungan dengan cabai misalnya restoran atau warung makan, bisa jadi produsen tempat tersebut menaikkan harga makanannya. Tetapi jika sesama komoditi seharusnya tidak akan mendorong kenaikan harga,”tandasnya.

Share This Post

Berita Terkini