Berita

WASPADA KELOMPOK RADIKAL, BUTUH PEMAHAMAN AGAMA YANG OTENTIK

Fenomena kelompok radikal kembali merebak. Beberapa pekan terakhir ini sebuah gerakan GAFATAR (Gerakan Fajar Nusantara) masih menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat, sebelum terjadinya peristiwa serangan bom di depan Mall Sarinah, Jl. MH Thamrin, Jakarta. Berkembangnya gerakan seperti GAFATAR maupun ISIS tersebut, tidak terlepas dari ideologi yang mengarah kepada perubahan. Tidak sedikit pula yang terpengaruh mengikuti gerakan tersebut, bahkan hingga masyarakat yang tergolong berpendidikan, namun masih minim pemahaman agama. Pada akhirnya masyarakat yang masih memiliki pemahaman agama yang rendah itulah yang mudah terperdaya dan mengikuti gerakan-gerakan radikal tersebut.

“Berkembangnya sebuah gerakan, tidak terlepas dari janji-janji yang mengarah pada perubahan. Terlebih mereka selalu menyuarakan jika mengikuti gerakan tersebut, ada jaminan masuk surga. Padahal sebenarnya, orang-orang yang memberikan janji-janji seperti itu pada dasarnya tidak mengiringi pendapatnya dengan pemahaman agama Islam yang otentik,” papar dosen komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Aly Aulia, Lc, M.Hum saat ditemui di UMY pada Kamis, (14/1).

Menurut Dosen UMY alumnus Al-Azhar University, Kairo, Mesir ini, pemahaman Islam yang otentik itu adalah pemahaman yang sesuai dengan ajaran Rasulullah, serta tidak menyimpang dari syariat-syariat agama Islam. Sedangkan terkait konsep yang dilakukan oleh GAFATAR tersebut, Aly mengungkapkan ada tiga konsep yang biasanya dipakai. “Biasanya sebuah gerakan yang mengatasnamakan Islam tersebut menggunakan konsep iman, hijrah, dan jihad. Mereka mengikuti ajaran-ajaran Rasulullah sebelum hijrah ke Madinah. Mereka berkeyakinan bahwa pada masa itu puasa, sholat, zakat, ataupun aturan-aturan Islam lainnya belum diwajibkan. Sehingga gerakan tersebut meyakini bahwa aturan Islam (sholat, puasa, zakat, red) tidak diwajibkan. Aturan Islam diterapkan setelah mereka berhijrah,” jelas Aly.

Aly menambahkan bahwa anggota yang tergabung pada GAFATAR ataupun sempalannya NII (Negara Islam Indonesia) maupun pengikut Ahmad Musadeq tersebut bisa dikatakan belum memiliki pemahaman agama yang baik. Karena mereka hanya mengambil ajaran Rasulullah ketika Rasulullah masih melakukan dakwahya di Mekkah, dimana saat itu kewajiban untuk melakukan sholat, zakat dan puasa belum ditetapkan. Dan mereka juga hanya mengambil ajaran-ajaran Islam tertentu saja. Sementara ajaran dan perintah lainnya ditinggalkan. Padahal untuk menjadi seorang Muslim yang sesungguhnya itu harus mengambil dan menerapkan seluruh ajaran-ajaran Islam ke dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya mengambil ajaran islam yang tertentu.

Karena itulah Aly menyarankan agar pemerintah, orang tua maupun pihak sekolah atau universitas yang sering menjadi sasaran dari gerakan tersebut dalam mencari pengikutnya, juga harus ikut berperan dalam membentengi generasi muda dari pengaruh gerakan-gerakan radikal tersebut. “Karena tidak menutup kemungkinan jika gerakan-gerakan radikalisme yang serupa akan muncul lagi ke depannya. Untuk itu semua elemen harus ikut berperan aktif dalam membentengi generasi muda, sanak saudara dan anggota keluarganya. Pemerintah juga harus menyikapi gerakan tersebut secara menyeluruh, melihatnya dari segala sisi baik itu ranah sosial, politik atau agama. Dan jangan hanya menyikapi kasus per-kasus, seperti hanya mengusut gerakan GAFATAR saja tapi lupa dengan gerakan sempalan lainnya yang serupa,” ujarnya.

Sedangkan peran orang tua, serta mahasiswa yang masih awam pemahaman agamanya dan sering menjadi sasaran gerakan tersebut, Aly berpesan bahwa para mahasiswa agar jangan menutup diri pada kebenaran, tidak taqlid (ikut-ikutan ajaran yang tidak ada dasarnya), harus bisa menjaga diri dan banyak belajar, serta mau mendiskusikan hal-hal yang baru. “Untuk peran bagi orang tua, harus peduli terhadap dinamika anaknya. Mengontrol dengan baik, tidak cuek, serta sering mengkomunikasikan apa saja kegiatan-kegiatan sang anak,” pesannya.

Sementara itu, sama halnya dengan yang disampaikan oleh Dr. Taufiqur Rahman, S.IP, MA, peneliti kelompok radikal yang juga dosen komunikasi UMY mengatakan, gerakan radikan seperti ISIS dan GAFATAR biasanya akan menarik perhatian masyarakat dengan melakukan kegiatan sosial yang positif, tujuannya untuk menarik simpati dari masyarakat. Sasaran yang dituju oleh GAFATAR ini sebagaimana diketahui dari pemberitaan di media massa, adalah kalangan mahasiswa dan berpendidikan. “Kondisi psikis Mahasiswa pada umumnya mudah terpengaruh, dan pada masa mahasiswa tersebut masih dalam proses mencari identitas diri. Meskipun terpelajar atau berpendidikan, pemahaman agama juga penting. Kalau pemahaman agama yang rendah, bisa sangat mudah dipengaruhi oleh gerakan seperti gafatar ini,” jelas Taufiq.

Pada poin GAFATAR tersebut, motif gerakan tersebut ingin melakukan gerakan yang fundamental di tengah kondisi masyarakat Indonesia. Mereka memulainya dengan menyendiri dalam komunitas, mereka juga beranggapan bahwa kehidupan Islam yang dijalani oleh umat Islam di Indonesia itu tidak Islami. Cita-cita membentuk sebuah negara Islam, namun dalam pemahaman tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. “GAFATAR ini bisa dilihat, mereka mengucilkan diri dari masyarakat umum, memutus tali silaturahmi keluarga, serta berdakwah secara ekslusif. Jika melihat aktifitas –aktifitas terkait keagamaan menyimpang, bisa jadi mereka memiliki agama sendiri, kitab suci sendiri, atau aturan keagamaan sendiri yang mereka anggap penting,” paparnya.

Supaya terhindar dari gerakan tersebut, setiap orang terutama mahasiswa yang menjadi sasaran harus memahami agama yang baik, serta hati-hati. “Bagi Mahasiswa untuk aktifitas sosial diperbolehkan, namun jika sudah masuk doktrin-doktrin agama harus berhati-hati. Belajar kepada para ulama atau yang sudah faham betul apa itu Islam. Sehingga tidak mudah terpengaruh dengan doktrin-doktrin pemahaman gerakan yang menyimpang,” pesannya. (HV)