Berita

Praktisi Hukum: RUU Anti-Terorisme Harus Hormati HAM

IMG_4397Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) saat ini telah membentuk Panitia Khusus (Pansus) guna membahas draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Terorisme. Sebelumnya, RUU telah diubah pasca peristiwa yang dikenal dengan peristiwa bom Tamrin (14/6). Kasus yang berbuntut pada penangkapan Siyono terduga teroris oleh Densus 88 hingga berujung maut, memunculkan opini masyarakat untuk merevisi terkait UU anti Terorisme.

“Berdasarkan informasi-informasi yang telah membaca RUU Terorisme, harus disikapi secara cermat dan teliti, mengingat ada pasal-pasal yang memberikan kewenangan secara luas,” ujar Ketua Tim Advokasi Kemanusiaan PP Muhammadiyah, Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum., saat diwawancarai di kantor Dekanat Hukum UMY, Kamis (14/4).

Pendekatan yang harus dilakukan terkait RUU Anti-Terorisme, Trisno mengatakan bahwa harus lebih ditekankan pada tindakan-tindakan represif. “Jika dilihat dalam hukum tindak pidana, dikenal dengan istilah hukum inkusitor. Hukum inkusitor inilah yang lebih menekankan pada tindakan-tindakan represif. Tindakan yang mengabaikan hak-hak tersangka, namun diizinkan oleh UU Terorisme terdahulu. Ini yang seharusnya lebih dikaji, harus ada lembaga yang bisa mengontrol,” ungkap Dekan Fakultas Hukum UMY. Pengkajian UU ini perlu dilakukan setelah melihat penanganan terorisme dengan tersangka Siyono yang tidak menerima surat penangkapan, mendapat kekerasan fisik bahkan menyebabkan kematian pada 11 Maret 20116 lalu.

Terkait UU Anti-Terorime, Trisno kembali menjelaskan, bahwa pada awalnya UU Terorisme dibuat pasca Bom Bali I berdasarkan PERPU (Peraturan Per Undang-Undangan) Tindak Pidana Terorisme. Akan tetapi karena pembahasan belum selesai, maka banyak masukan maupun kritikan terkait RUU tersebut. Sama halnya dengan RUU saat ini. Trisno beranggapan, kebebasan Hak Asasi Manusia terlalu lentur. Sehingga akan mudah disalahgunakan apabila penegak hukum tidak menggunakan hukum sesuai dengan koridor penegakan hukum yang semestinya. “Pasca peristiwa Bom Bali, RUU yang telah disetujui oleh pemerintah dan DPR, berisi dokumen-dokumen intelejen. Meskipun data-data tersebut harus mendapat persetujuan ketua peradilan Negeri, Ini bisa memudahkan untuk mencari data-data, siapa yang bertanggungjawab dalam suatu kasus,” jelasnya.

Di samping itu, terkait prosedur waktu penangkapan dalam UU acara hukum yaitu 1×24 jam. Dalam penjelasan Trisno, seseorang yang ditangkap dan melebihi 1 hari dan pihak hukum tidak bisa menentukan apakah bersalah atau tidak, maka harus dibebaskan. Kecuali sudah ditetapkan sebagai tersangka. Jika waktu 1X24 jam tidak cukup, maka bisa diperpanjang dalam penangkapan sampai 7 hari. “Waktu selama 7 hari sering dijadikan dasar untuk menangkap seseorang dengan tidak menggunakan surat resmi penangkapan. Aturan undang – undang inilah yang tidak ada kontrolnya. Dalam RUU saat ini, justru diperpanjang menjadi 30 hari. Dalam 7 hari saja sudah menimbulkan dampak-dampak, apalagi jika diperpanjang selama 30 hari. Waktu dalam 30 hari orang yang ditangkap itu tidak tahu bagaimana keadaannya, dan dimana. Ini sama saja “menculik” yg tidak diproses secara hukum,”kritik Trisno.

Dalam argumentasi Perundang-undangan terorisme harus menggunakan argumentasi, tempat, dan waktu yang baik harapannya agar standar hukum tersebut dapat diterima oleh masyarakat. Selain itu, agar terorisme dapat diperangi, Trisno menambahkan bahwa pemerintah perlu melakukan pendekatan di luar pendekatan hukum. “Di luar pendekatan-pendekatan hukum ini terkait sosial kemasyarakatan, terkait apek-aspek pendekatan kesejahteraan masyarakat. Salah satu tujuan Negara yaitu menjadi masyarakat yang adil dan makmur. Pada masyarakat yang sejahtera, persoalan ekonomi yang tidak ada kendala, maka masalah terorisme ini ataupun kejahatan secara umumnya akan menurun, meskipun sulit dihilangkan. Keadilan dan kesejahteraan menjadi faktor penting untuk memerangi masalah tindak kejahatan,” ujarnya. Proses yang adil, benar, sesuai standar-standar yang baik merupakan ranah yang ideal, sesuai dengan jalur hukum dan lebih diterima oleh masyarakat.

“Kalau memang prosesnya melakukan perubahan, maka yang kami harapkan UU Terorisme tetap menghormati HAM. Dan aparat penegak hukum dapat dikontrol dan dipertanggungjawabkan, supaya tidak menimbulkan pertanyaan terhadap terorisme. Maka perbaikan terhadap terorisme ini harus dimaksudkan untuk menghormati HAM,” harap Trisno. (hv)

Share This Post

Berita Terkini