Partai Golkar dan PPP yang terus mengalami gejolak dalam partainya ini tak kunjung usai sejak digelarnya Munas Golkar di Bali. Sampai akhirnya tepecahlah kedua partai tersebut, hingga mempengaruhi pergantian kepengurusan di kedua belah pihak. Sampai akhirnya masing-masing partai melakukan ajuan ke beberapa pihak lembaga untuk mempertahankan kubunya masing-masing. Sampai pada akhirnya putusan MA akhirnya mengembalikkan kepengurusan yang lama. “Ini menarik karena konflik partai pada kepengurusan tidak bisa diselesaikan secara dewasa, masing-masing partai merasa argumentnya benar sehingga kedua belah pihak ini tidak mencari cara bagaimana konflik ini bisa terselesaikan. Ini membuktikan bahwa petinggi partai cenderung gagal secara institusi. Alasannya, karena berdirinya partai di Indonesia ini masih bersifat elit, artinya berdirinya partai bukan dari bawah atau dari nol sehingga anggota dari partai tersebut tidak saling memiliki dan tidak mempunyai rasa kebersamaan, “ jelas Tunjung Sulaksono, S.IP, M.Si dalam diskusi terbatas, di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada Sabtu (224/10).
Dosen Ilmu Pemerintahan UMY ini melanjutkan, partai-partai tersebut hanya mementingkan kelompoknya sendiri, sehingga terlihat jelas bahwa tidak adanya rasa memiliki. “Jadi mereka itu cenderung oligarkis, artinya hanya ditentukan oleh segelintir orang saja dalam menentukan kepengurusan atau memilih pimpinannya. Bahkan mereka bersaing untuk merebut kekuasaan. Kata memperebutkan kekuasaan ini sudah melenceng dari tujuan yang seharusnya. Jika seharusnya kekuasaan bertujuan untuk menyelesaikan sebuah masalah dan menyejahteraakan anggotanya namun, pada pelaksanaannya tidak sama sekali. Bahwa kekuasaan lebih pada mementingkan sebuah kelompok tertentu, tak heran jika ini mengalami perpecahan antar partai, “ lanjutnya.
Menurut pakar pemerintahan UMY ini, kekuasaan masih menjadi power dari sebuah partai elit, dan kekuasaan ini hanya semata-mata untuk kepentingan golongan. “Ini mengakibatkan kedua kubu saling mempertahankan kekuasaannya masing-masing dan ingin memenangkan pertarungan. Seharusnya kedua kubu tersebut bukan hanya mementingkan kekuasaan tetapi mencari jalan lain untuk mencari cara, bagaimana menyelesaikan masalah ini. kebanyakan dari mereka tidak berpikir jangka panjang mereka hanya menjadikan kekuasaan sebagai power yang harus diperebutkan. Seperti yang kita tahu bahwa mayoritas partai-partai di Indonesia tidak bisa menyelesaikan konflik sampai selesai. Konflik yang tidak terselesaikan ini justru malah menyebabkan terbelahnya partai dan akhirnya membentuk partai tandingan, “ paparnya.
Tunjung menjelaskan, bahwa keluarnya putusan MA ternyata memutuskan bahwa partai yang diakui kepengurusannya adalah partai yang terjadi sebelum konflik. Bahkan, kepengurusan yang diakui oleh pemerintah adalah partai yang ada di kepengurusan lama. “Tidak menyelesaikan konflik inilah yang nantinya akan berujung panjang karena, mereka tidak memberikan opsi lain untuk bisa berdamai atau bersatu kembali. Seperti pada putusan MA yang akhirnya mengesahkan Kubu ARB yang diakui maka tidak ada opsi lain kecuali membuat sebuah partai baru. Terbentuknya partai baru ini muncul ketika mereka merasa kecewa atas perlakuan yang diberikan oleh partai lama kepadanya, “ jelasnya.
Seharusnya, terangnya, partai elit ini memiliki rasa kebersamaan dan rasa memiliki pada partai yang dinaunginya, bukan berburu kekuasaan yang akhirnya tujuannya untuk kepentingan sendiri bukan untuk menyejahterahkan partai atau masyarakat. “Jadi, kesimpulannya para anggota partai harus kolekif dan memiliki rasa kebersamaan dalam anggota partai tersebut,“ terangnya.