Berita

Stigma mengenai Guru BK perlu diubah

Adanya stigma dari sebagian masyarakat bahwa guru Bimbingan Konseling (BK) kurang berperan dalam meningkatkan mutu kualitas pendidikan siswa serta adanya anggapan jika menemui guru BK adalah anak-anak nakal atau bermasalah perlu diubah.

Hal tersebut disampaikan Koordinator Diklat dan Studi Banding Guru BK Kota Bengkulu, Hatra Dewi, S.Pd di sela-sela diklat Guru BK di Kampus Terpadu, Selasa (25/5).

Hatra mengungkapkan, pendidikan merupakan bagian terpenting dalam kehidupan bernegara. Namun belakangan ini banyak persoalan yang muncul dalam dunia pendidikan, salah satunya adalah rendahnya mutu pendidikan. Rendahnya mutu pendidikan tidak terlepas dari rendahnya Sumber Daya Manusia (SDM). “Jika berbicara tentang SDM di dalam dunia pendidikan jelas salah satu objeknya adalah guru. Guru yang dimaksudkan salah satunya adalah Guru BK,” ujarnya.

Lebih lanjut, Ia menuturkan di daerahnya saat ini keberadaan guru BK secara kuantitas dan kualitas juga perlu ditingkatkan. “Saat ini jumlah guru BK di daerah kami masih terbatas karena perbandingan guru BK mencapai 1:700 siswa, sedangkan idealnya 1:150 siswa. Selain itu, pelatihan yang diberikan untuk guru BK juga masih kurang sehingga pengembangan dan peningkatan kualitas guru BK menjadi penting dilaksanakan,” jelasnya.

Adanya stigma dari sebagian masyarakat mengenai guru BK juga menjadi perhatian untuk segera diubah. Hasil dari didikan guru BK disadari merupakan proses dan hasil jangka panjang yang tidak secara instan dan cepat terlihat dalam diri anak didiknya. Hal ini lantaran guru BK tidak mengajar suatu bidang studi yang nantinya akan diukur melalui perolehan nilai saat ujian.

“Kondisi ini kemudian dianggap sebagian masyarakat bahwa guru BK tidak berperan dalam peningkatan dan pengembangan kualitas anak didiknya karena memang proses dan hasil yang diajarkan guru BK kepada para anak didiknya tidak diukur dengan nilai ujian semata. Akibatnya, keberadaan guru BK terkadang masih dianggap sebelah mata. Stigma inilah yang perlu diubah sehingga guru BK pun dipahami apabila mereka juga mempunyai tanggung jawab yang sama dalam meningkatkan dan menjamin kualitas mutu pendidikan bagi siswa,” urai Hatra.

Sementara itu, Trainer UMY yang menjadi fasilitator diklat, Muhammad Samsudin, S.Ag, M.Pd memaparkan guru BK tidak sekedar mengatasi masalah tetapi juga berfungsi sebagai tempat untuk pengembagan diri atau soft skill siswa.

Menurutnya saat ini adanya angapan tersebut bisa disebabkan berbagai faktor salah satunya kebanyakan dasar ilmu guru BK sebelumnya bukan ilmu untuk menjadi guru BK. “Banyaknya guru BK yang dasar ilmunya tidak sesuai dengan ilmu atau kuliah yang telah diambil sebelumnya sehingga guru BK tersebut tidak paham apa yang harus dilakukan. Apa yang dilakukan pada akhirnya lebih kepada hal-hal administratif. Bahkan sampai timbul anggapan di kalangan siswa bahwa guru BK adalah orang yang galak,” jelasnya.

Padahal guru BK tidak selalu berhubungan dengan kenakalan siswa. “Guru BK dapat dijadikan untuk pengembangan diri atau soft skill seperti konsultasi karir dan lainnya,”urainya. Dari pihak sekolah pun terkadang juga menganggap bahwa guru BK tidak penting yang kemudian berdampak pada penempatan ruangan guru BK yang tidak layak seperti ruangan di pojok, serta fasilitas yang kurang bahkan pengurang jam konseling untuk para siswa.

Untuk mengubah image negatif tersebut menurut Samsudin, guru BK harus mampu tampil mandiri. Guru BK harus meningkatkan pengetahuan, pengembangan wawasan dengan mengikuti pelatihan-pelatihan serta layanan konseling melalui Teknologi Informasi yang saat ini semakin berkembang. “Dengan semakin tampil mandiri dan kemampuan yang semakin bertambah akan meningkatkan performance guru BK tersebut,” paparnya.

Selain itu, guru BK harus mampu memposisikan diri sebagai teman siswa bukan sebagai atasan, mendampingi siswa bukan mengawasi. Jika ada masalah, menyelesaikan dari akar permasalahannya. “Misalnya ada siswa yang merokok yang disalahkan jangan langsung siswa yang merokok tersebut  karena siapa tahu tingkat kedisilpinan sekolah tersebut masih kurang. Bisa jadi mungkin ada permasalahan lain penyebab siswa tersebut merokok,” pungkas Samsudin.

Share This Post

Berita Terkini