Berita

2019 Tahun Politik, Buya Syafi’i: Demokrasi Melatih Kita Untuk Sabar

Sebagai negara demokrasi juga berpenduduk mayoritas muslim, bangsa Indonesia memang dilanda cobaan yang besar pada setiap tahun politik yang dilalui. Ahmad Syafi’i Maarif atau kerap disapa Buya Syafi’i sebagai sosok intelektual dan cendekiawan muslim ikut menyoroti semakin ramainya pemberitaan mengenai pemilu serentak yang ada di media sosial dari postingan ujaran kebencian hingga harapan positif bagi bangsa ini. Beliau mengaku jika kondisi ini membuat umat Islam terpecah karena politik, maka Indonesia tidak belajar dari sejarah besar perang saudara umat Islam yang terjadi pasca Nabi Muhammad SAW wafat yaitu perang unta pada 656 M, bahkan mungkin tidak mendapat pelajaran pada pemilu 2014 lalu.

“Islam dikatakan dalam Al-Quran sebagai pemenang, tapi miris kenyataanya sekarang semenjak Nabi wafat banyak perang saudara dikarenakan haus politik akan kekuasaan. Politik berkotak-kotak memecah belah Islam, agama dijadikan sebagai senjata politik, menyeret Tuhan ke dalam kebencian serta politik kotor pemilu. Ini sangat memprihatinkan dan sangat disesalkan,” Ungkap Buya Syafi’i dalam bedah buku karya beliau berjudul ‘Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam’ di Gedung Pascasarjana UMY pada Jum’at (1/3). Bedah buku tersebut digelar sebagai rangkaian acara Milad ke-38 UMY.

Di dalam buku tersebut Buya menuangkan kegelisahanya, juga kepedulian beliau terhadap masa depan Islam di Dunia. Curahan Buya dalam buku ini adalah kegelisahan beliau mengenai agama yang dipakai untuk tujuan politik. Politik kekuasaanlah yang menjadi faktor utama mengapa Arab waktu itu mengalami kehancuran dalam mempraktikan nilai-nilai Islam dengan membangun peradaban negara di atas mayat saudaranya. “Jangan sampai Indonesia seperti itu, merupakan kepahitan yang amat dalam jika terjadi,” tuturnya.

Jelang Pilpres 2019 mendatang, Buya meminta masyarakat Indonesia untuk sabar dalam berdemokrasi dengan menjaga persatuan bangsa dan negara. Beliau mengingatkan pemilu itu merupakan pesta rakyat setiap 5 tahun sekali, jangan sampai hal ini membuat negara terpecah selamanya. Menurutnya dengan Islam seharusnya kita lebih sabar menghadapi setiap isu politik.

“Jangan terlalu serius menyikapi tahun politik ini apalagi jika hanya karena berbeda pilihan. Toh setiap 5 tahun sekali kalau tidak cocok ya ganti. Jangan sampai Indonesia hancur. Banyaknya berita hoax hingga ujaran kebencian dalam berpolitik ini mengartikan peradaban sedang merosot. Jangan terlalu serius lah, demokrasi itu melatih kita untuk bersabar,” tutup Buya. (pras)

Share This Post

Berita Terkini