Berita

Untuk Indonesia Lebih Baik, Jokowi – JK Harus Perbaiki Media di Indonesia

suasana simposium II “Mengembalikan Frekuensi Penyiaran Sebagai Milik Rakyat: Tantangan dan Solusi Pengembangan Media Penyiaran Pro Rakyat”
Dalam rangka turut mendukung program pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) turut pula berpartisipasi dalam penyelenggaraan Simposium Nasional II pada hari ini Selasa (2/9) di AR Fachrudin A Lt.5. Penyelenggaraan simposium nasional yang diselenggarakan dalam bentuk panel tersebut dibuka oleh Dr. Ahmad Nurmandi, M.Si selaku Direktur Jusuf Kalla Government School (JKSG) UMY dan Prof. Tulus Warsito  UMY selaku penyelenggara.
​​
Simposium Nasional II yang ada di UMY merupakan panel  ke 15 yang membahas tentang “Komunikasi Kerakyatan dan Media”, terdapat dua tema besar yang dibahas, antara lain “Mengebalikan Frekuensi Penyiaran Sebagai Milik Rakyat: Tantangan dan Solusi Pengembangan Media Penyiaran Pro Rakyat” yang dipimpin oleh Fajar Junaedi. S.Sos,.M.Si dan “Komunikasi Politik dan Penguatan Civic Literacy” yang dipimpin oleh Dr. H. M. Nurul Yamien. M.Si.
Fajar Junaedi dalam pemaparannya menerangkan bahwa saat ini yang menjadi problem masyarakat adalah, banyaknya stasiun televisi swasta di Indonesia yang dimiliki oleh kelompok perusahaan media maupun non media. Mereka itulah yang kemudian tergiur masuk dalam bisnis media seperti yang kita kenal dengan sebutan konglomerasi media (kepemilikkan media) sehingga membuat media menjadi tidak sehat.
“Persaingan antar stasiun televisi dalam memperebutkan perhatian khalayak untuk menonton program atau berita menyebabkan persaingan yang semakin ketat dan cenderung dikendalikan oleh pasar. Hal ini juga dipengaruhi karena kurang tegasnya regulasi yang dimiliki oleh KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) terhadap media-media yang melakukan pelanggaran. Padahal sebenarnya, masyarakat sipil sudah melayangkan aduan mengenai konglomerasi dan konsentrasi kepemilikian media penyiaran ini, namun masih tidak diindahkan oleh KPI,” jelasnya.
Fajar juga mengungkapkan, bahwa fakta yang sulit diingkari adalah lembaga penyiaran daerah sulit berkembang dalam menghadapi lembaga penyiaran swasta yang bersiaran dari Jakarta. Fenomena ini memperlihatkan terjadinya standarisasi siaran dalam tayangan berita di stasiun televisi swasta yang berpusat di Jakarta. “Standarisasi ini diperlihatkan dengan dikedepannya isu-isu yang berkaitan dengan Jakarta dibandingkan dengan isu-isu kedaerahan. Secara sarkas, stasiun televisi swasta Jakarta memaksa khalayak di daerah-daerah untuk mengikuti perkembangan Jakarta,” ungkapnya.
Melihat isu-isu tersebut Fajar Junaedi pun memberikan saran atau rekomendasi,  yakni dengan merubah regulasi yang dimilki oleh KPI. Hal ini agar KPI memiliki kebijakan yang tegas. Kedua, monopoli dan ogopoli penyiaran harus dihentikan, keberpihakan yang lebih luas harus diberikan pada televisi swasta lokal. Ketiga, lembaga penyiaran publik, terutama TVRI dan RRI harus mendapatkan alokasi anggaran yang lebih besar agar dapat memproduksi program acara yang berkualitas. “Keempat, negara memberikan bantuan pada lembaga penyiaran komunitas, agar mampu bersaing dengan lembaga penyiaran swasta. Kelima, perlu adanya keterlibatan perguruan tinggi ilmu komunikasi dan asosiasi pendidikan ilmu komunikasi dalam pembuatan naskah akademik atau kebijakan di bidang penyiaran,” paparnya.
Selain isu media, hal yang terkait dengan komunikasi poltik juga penting. Isu yang terkait dengan komunikasi politik antara lain kurangnya pendidikan politik yang dimiliki oleh masyarakat luas. Adanya media yang semakin luas dan mudah dijangkau oleh masyakarat dengan cakupan yang sangat luas.
Dalam dikusi tersebut Dr. H.M. Nurul. Yamien, Drs., M.Si menyampaikan rekomendasi, pertama, perlu adanya komunikasi politik dan penguatan civic literacy, artinya intensitas penyebaran pesan politik tidak diikuti peningkatan civic literacy sebagai elemen penting dalam membangun warga negara yang otonom. Kedua, perlu adanya membangun hubungan yang baik dengan relawan poltik yang muncul ketika Pilpres tahun 2014, dimana masing-masing calon Pilpres memiliki relawan. “Keberadaan relawan sebagai kekuatan civil society harus dikembangkan, baik untuk interaksinya dan interelasinya tanpa harus saling intervensi. Sebab relawan politik memiliki “dunianya sendiri”, sebagaimana politik memiliki karakteristik yang khas. Dan yang ketiga, menggunakan media dengan semestinya sebagai penyalur aspirasi masyarakat untuk pemerintah baik itu melaui media konvensional, non konvensional, atau media sosial yang saat ini banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia.
” ” terangnya lagi.
Terkait rekomendasi tersebut para peserta diskusi mengaharpkan pemerintahan dapat mendengar hasil rekemondasi yang telah diberikan untuk membangun kepemerintahan yang menjadi lebih baik lagi.

 

Share This Post

Berita Terkini