Berita

RPM Konten Multimedia Tidak Perlu, Pendidikan Literasi Media Solusinya

Rancangan Peraturan Menteri (RPM) tentang Konten Multimedia yang digulirkan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) kini sedang dalam tahap uji publik. Beragam tanggapan dan pendapat, baik positif maupun negatif bermunculan dari berbagai pihak. Penolakan keras pun muncul dari kalangan pengguna dan penyedia layanan atau penyelenggara layanan multimedia.

RPM Konten Multimedia ini tidaklah diperlukan, jika para pengguna jasa layanan multimedia sudah terdidik dengan baik dan sudah melek media. Pendidikan literasi media atau melek media sudah bisa menjadi salah satu cara untuk mengurangi dampak negatif dari layanan multimedia.

Hal tersebut dipaparkan oleh Fajar Junaedi, M.Si, pengamat media Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dalam sebuah diskusi di Kampus Terpadu UMY, Kamis siang (18/02).

Menurut Fajar, persoalan dalam dunia multimedia yang seringkali dianggap bebas nilai dapat teratasi jika penggunanya sudah melek media. Tidak perlu ada peraturan-peraturan yang terkesan mengekang seperti RPM konten multimedia tersebut. Cukup menjawabnya dengan bijak dan elegan. Penyelesaian melalui pendekatan struktural seperti mengeluarkan UU, PP, atau Peraturan Menteri, pasti akan mengundang reaksi dari publik.

Menggalakkan kembali pendidikan melek media atau literasi media bisa menjadi solusinya. Tidak harus dengan membuat pelajaran khusus tentang literasi media. Bisa saja dengan memasukkannya ke dalam pelajaran tertentu. Misalnya memasukkannya ke dalam mata pelajaran pendidikan pancasila atau pendidikan agama. Yang penting adalah bagaimana pendidikan melek media tersebut terinternalisasikan ke dalam pendidikan.

”Seperti yang sudah-sudah, kebiasaan di masyarakat kita, semakin dilarang maka akan semakin melawan. Resistensi atau penolakan dari publik yang timbul akan semakin besar. Pendekatan kultural melalui pendidikan literasi media atau melek media jauh lebih efektif. Selain itu, keberadaan keluarga sebagai pranata pengawas juga sangat berpengaruh,” ujar Fajar.

Cara kedua adalah dengan memperketat pengawasan oleh lingkungan, terutama keluarga. Hal-hal sepele seperti penempatan komputer di rumah kadang berpengaruh. ”Kurang tepat jika perangkat komputer diletakkan di ruang yang tertutup. Karena dalam kondisi tertutup itu, tentu akan membuat orang yang menggunakan cenderung menggunakannya secara bebas. Berbeda jika merasa diawasi. Tentu seseorang itu akan mencoba untuk lebih bertanggung jawab.”jelasnya.

Fajar juga menilai bahwa langkah pemerintah melalui RPM yang membebankan tanggungjawab kepada penyelenggara adalah langkah yang kurang tepat.

”Sangat tidak fair apabila pemerintah menuntut penyelenggara. Penyelenggara jasa layanan multimedia tentu tidak dapat sepenuhnya mengontrol apa yang sedang berlangsung atau apa yang ada di media tersebut. Aneh apabila di sebuah portal berita, komentar yang datang dari pembaca harus melewati sensor dari operator portal tersebut. Otomatis, komunikasi dua arah tidak akan berjalan,” tegas Fajar.

Jikalau pada akhirnya RPM ini disahkan, patut dipertanyakan, bagaimana posisi RPM konten multimedia ini terhadap Undang Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU tentang Pers, UU tentang Penyiaran, dan UU tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Apakah azas hukumnya dapat dipertanggunjawabkan jika bertentangan dengan Undang-Undang.

Fajar menyatakan bahwa RPM konten multimedia tersebut bertentangan dengan beberapa UU, padahal Peraturan Menteri itu posisinya di bawah UU.

Misalnya antara RPM konten multimedia dengan undang-undang keterbukaan informasi publik yang beberapa waktu lalu disahkan. Jika PRM konten multimedia disahkan, apakah itu tidak membatasi informasi publik. Apakah RPM memiliki semangat untuk mempermudah akes informasi publik serta kebebasan berpendapat, atau malah sebaliknya.

”RPM konten multimedia ini sangat bertentangan dengan semangat reformasi, semangat demokrasi, dan semangat keterbukaan informasi. Rancangan peraturan menkomifo ini seperti menyiratkan bahwa ada kekhawatiran atau ketakutan dari pemerintah terhadap suara publik. Padahal internet itu adalah public sphere atau ruang publik,” tutur dosen Departemen Ilmu Komunikasi UMY ini.

Fajar membandingkannya dengan media konvensional. Jika di media konvensional, apabila ingin bersuara, seseorang harus memiliki media yang besar. Selain itu, ada editor atau penyunting yang dapat mengontrol isi media tersebut. Sedangkan jika di media baru seperti internet. Cukup dengan memiliki satu akun tertentu, entah berbentuk blog, facebook, twitter, atau lainnya, seseorang sudah bisa menyampaikan pendapatnya, tanpa ada yang menyuntingnya terlebih dahulu.

”Jika benar-benar diterapkan, maka kita akan mengulang masa lalu. RPM ini ibarat Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP) di masa lalu, padahal sangat berbeda. Jika di media konvensional, khususnya media cetak, ada editor, gatekeeper, atau bagian yang menyunting seluruh isi media sebelum diterbitkan. Namun jika di media internet, apakah mungkin memantau seluruh isi media tersebut?,” imbuh Fajar.

Share This Post

Berita Terkini