Berita

Public Relations harus Katakan yang Benar

Menjadi seorang Public Relations atau PR di satu perusahaan memang terkadang menjadi pekerjaan yang sulit dan dilematis. Di satu sisi perusahaan yang berorientasi pada keuntungan membuat seorang PR harus berusaha dengan berbagai cara untuk memperluas pasar, menjaga hubungan dengan relasi, maupun menjaga citra perusahaan agar tetap baik dalam keadaan apapun. Namun di sisi lain ada etika dan hukum yang harus dipatuhi oleh seorang PR dalam melakukan tugasnya sebagai ujung lidah perusahaan.

Menjadi seorang Public Relations atau PR di satu perusahaan memang terkadang menjadi pekerjaan yang sulit dan dilematis. Di satu sisi perusahaan yang berorientasi pada keuntungan membuat seorang PR harus berusaha dengan berbagai cara untuk memperluas pasar, menjaga hubungan dengan relasi, maupun menjaga citra perusahaan agar tetap baik dalam keadaan apapun. Namun di sisi lain ada etika dan hukum yang harus dipatuhi oleh seorang PR dalam melakukan tugasnya sebagai ujung lidah perusahaan. Sekeras apapun usaha yang dilakukan seorang PR untuk memajukan ataupun mempertahankan perusahaan tidak boleh melenceng dari etika dan hukum yang ada.

Demikian diungkapkan oleh DR Mukti Fajar pakar Hukum Bisnis Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dalam kuliah umum Etika Publik Relations dan Bisnis prodi Ilmu Komunikasi bertempat di Kampus Terpadu UMY, Jumat (7/5).

Bagi Mukti ada sebuah prinsip yang harus dipegang oleh seorang PR dalam menghadapi kedilematisan yang dijelaskan di atas yakni katakan yang benar namun tidak semua yang benar harus dikatakan. Artinya seorang PR seharusnya mampu memilah mana yang harus dikatakan kepada relasi maupun publik dan mana yang tidak. Contohnya seorang PR ditanyai oleh relasinya tentang keuntungan perusahaannya, jika keuntungan besar katakan bahwa perusahaan maju dengan keuntungan yang besar namun seorang PR tidak perlu mengatakan berapa banyak hutang yang dimiliki oleh perusahaannya. “Intinya seorang PR harus pandai menjaga rahasia perusahaan, mampu mengeksplorasi kebaikan dan kemajuan perusahaan namun tidak dibenarkan untuk mengatakan yang buruk itu baik,”ungkap dosen fakultas hukum UMY tersebut.

Menurut Mukti bagaimana pun seorang PR khususnya seorang PR tidak melakukan pembohongan terhadap publik. Jika ketahuan berbohong maka bisa saja perusahaan tersebut mendapat ketidak percayaan publik seperti yang pernah terjadi pada sebuah perusahaan susu ternama di dunia yang mendapat kecaman dari masyarakat Jerman saat ketahuan melakukan riset yang yang ternyata bisa dipatahkan oleh riset yang lain. Perusahaan tersebut melakukan riset yang hasilnya mengatakan bahwa Susu Formula lebih baik di bandingkan ASI. Namun ternyata riset tersebut dipatahkan oleh riset lain yang menyatakan hal sebaliknya. Pada akhirnya perusahaan tersebut dikatakan melakukan kebohongan publik. Akhirnya perusahaan susu tersebut memindahkan pasarnya ke Asia dan Afrika. “Memang secara hukum, perusahaan tersebut tidak dikenai kasus hukum, namun perusahaan tersebut telah melanggar etika,”paparnya.

Itulah pentingnya etika dalam PR. Etika memang tidak selalu memberikan hukuman yang memaksa pada pelakunya, berbeda dengan hukum. Namun keberadaan seperangkat norma bernama etika tersebut akan memberikan rasa bersalah pada diri sendiri. Conothnya jika kita berbohong maka hanya kita sendiri yang tahu kita berbohong atau tidak. Akan ada rasa bersalah pada diri. Begitu juga dengan PR. Seorang PR tidak boleh memberikan informasi yang menyesatkan kepada konsumennya maupun kepada publik. Karena ada beberapa prinsip etika yang seharusnya menjadi batasan bagi seorang PR yakni keterbukaan, kebenaran informasi, itikad baik, dan juga kesusilaan. “Baiknya seorang PR selalu berjalan pada prinsip ini tanpa melupakan juga orientasi dari perusahaan, makanya kuncinya bagi PR adalah katakan yang benar namun tidak semua yang benar harus dikatakan,”tandasnya.

Share This Post

Berita Terkini