Berita

Peneliti Asal Jerman Anggap Indonesia Belum Perhatikan Pencari Suaka

Negara Indonesia telah menjadi Negara transit bagi para pencari suaka dari berbagai Negara yang terlibat konflik. Hal tersebut seperti yang dipaparkan oleh peneliti asal jerman, Prof. Antje Missbach pada kuliah umum yang mengusung tema “Troubled Transit: Politik Indonesia Bagi Para Pencari Suaka.” Pada kuliah umum yang diselenggarakan oleh Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (IP UMY) tersebut, Prof. Antje mengkritik pemerintahan Indonesia yang tidak memprioritaskan isu para pencari suaka yang transit di Indonesia.

“Dalam memprioritaskan isu pencari suaka di Indonesia masih tergolong rendah. Ini karena pemerintah memandang tujuan Negara para pencari suaka bukan di Indonesia, melainkan ke Australia. Sementara Australia tidak lagi menerima para pencari suaka yang mendaftarkan diri melalui badan pengungsi PBB, UNHCR di Jakarta, seperti Afganistan, Pakistan, Iran, Irak, Myanmar, Sri Lanka, dan Somalia,” ujar Prof. Antje, Selasa (28/2) di Amphi Teater Pascasarjana lantai 4 UMY.

Staff dan juga peneliti pada Departemen Antropologi di Universitas Monash, Melbourne, Australia mencatat bahwa pada November tahun 2016, terdapat 7.274 pencari suaka serta 6.917 pengungsi mendaftarkan diri melalui UNHCR yang berasal lebih dari 44 negara. “Sebagian besar para pengungsi yang mencari suaka harus menunggu selama kurang lebih dua tahun dalam proses pendaftaran untuk mendapatkan sertifikat para pencari suaka dari UNHCR. Indonesia sebagai Negara transit, pada tahun 1951 tidak menandatangani konvensi pengungsi Internasional. Sehingga Indonesia tidak memberikan hak bagi para pengungsi dan pencari suaka,” ungkapnya,

Selain itu, belum adanya perhatian pemerintah Indonesia bagi para pencari suaka yaitu dilihat dari lemahnya hukum pencari suaka. Hal tersebut meskipun pemerintah Indonesia telah mengeluarkan peraturan presiden nomor 125 tahun 2016 tentang penanganan pengungsi dari luar negeri dan pencari suaka di Indonesia. “Indonesia belum memiliki kerangka hukum dalam pencarian suaka. Indonesia belum bisa menerima pengungsi karena di dalamnya masih banyak konflik, seperti di Poso, maupun di Maluku. Dilihat pada kasus tahun 2002 saat terjadi konflik di Papua Barat, orang yang ingin mencari suaka ke Australia, oleh pemerintah Indonesia tidak diijinkan. Ini dikhawatirkan akan memunculkan separatisme. Pihak Australia akhirnya hanya memberikan ijin 3 tahun untuk tinggal di Australia,” ujarnya.

Lemahnya perhatian Indonesia terkait pengungsi dan pencari suaka juga ditambahkan dengan kebijakan baru yang di berlakukan oleh Australia. Para imigran dan pencari suaka yang terdaftar pada UNHCR di Indonesia setelah tanggal 1 Juli 2014, tidak akan pernah bisa tertampung lagi oleh AustraliPr. Kondisi tersebut seperti yang dikatakan oleh Prof. Antje akan menciptakan penumpukan migran di Indonesia. “Sejumlah Negara menganggap pengungsi di Indonesia sebagai tanggung jawab Australia. Sehingga banyak orang terjebak dalam penantian di Indonesia. Sebagai gantinya dalam memutuskan pencari suaka di Australia, pihaknya mengganti dengan memberika uang melalui IOM (Organisasi Migrasi Internasional, red),” paparnya. (hv)

Share This Post

Berita Terkini