Berita

Partisipasi Perempuan Minim dalam Bencana, Ternyata Berdampak Besar

Ketimpangan Struktur Sosial dalam hal gender di masyarakat menjadikan keterlibatan perempuan di dalam upaya pengurangan risiko bencana yang sangat minim. Padahal peran perempuan dalam hal ini memiliki dampak yang cukup vital mengingat korban dari berbagai bentuk bencana justru berasal dari kalangan anak-anak dam perempuan. Untuk itu, perlu adanya wacana di masyarakat mengenai hal ini.

Demikian disampaikan Natalia, seorang praktisi dari Yakkum Emergency Unit dalam Diskusi Rutin bertajuk “Perempuan dalam Pengurangan Risiko Bencana” yang diadakan Tim Bersama Diskusi Rutin Gender dan Pemberdayaan Perempuan dengan Pusat Studi Wanita Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (PSW UMY) di Ruang Sidang AR. Fahrudin B Kampus Terpadu UMY Jumat pagi (10/12).

Natalia menjelaskan, saat ini keterlibatan perempuan yang minim dalam upaya pengurangan risiko bencana mengakibatkan kurangnya penanganan terhadap permasalahan yang timbul di kalangan perempuan saat terjadi bencana. Dalam upaya pra-bencana misalnya, sosialisasi-sosialisasi langsung yang diadakan cenderung hanya melibatkan laki-laki saja. Perempuan menjadi orang kesekian dalam runtut penerimaan informasi sehingga informasi yang didapat terbatas.

Demikian pula yang terjadi dalam penaggulangan bencana. Terbatasnya partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan pada saat penanggulangan mengakibatkan fasilitas mengenai kebutuhan-kebutuhan perempuan menjadi kurang memadai. “Pengungsian yang dikonsep laki-laki cenderung menfasilitasi hal-hal yang bersifat umum, seperti logistik, beras, makanan dan semacamnya. Padahal perempuan ada daur biologis yang juga seharusnya diperhatikan”, terang Natalia mencermati ketersediaan kebutuhan wanita seperti pembalut dan pakaian dalam yang sangat minim di beberapa pengungsian.

Senada dengan Natalia, Anggoro. Seorang pengamat gender dari Gender Working Group menjelaskan salah satu fenomena yang terjadi di lapangan. Karena konsep dibuat oleh laki-laki mengenai pengungsian cenderung kurang nyaman digunakan oleh perempuan. Contohnya dalam pengadaan kamar mandi. Di beberapa pengungsian, kamar mandi dibangun terlalu dekat dengan tempat istirahat. Hal ini mengakibatkan ketidaknyaman bagi perempuan dalam menggunakan fasilitas tersebut. “Tidak ada masalah kalau untuk laki-laki, tapi perempuan butuh privacy yang lebih. Belum lagi kondisi pintu yang tidak sampai menutup kepala”, jelas Anggoro.

Diskusi ini merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan bersama oleh LSPPA, Mitra Wacana, PSKK-UGM, SCN-CREST, Yayasan LKIS, dan PSW UMY yang diadakan sejak 5 Juni 2009. Diskusi kali ini merupakan diskusi ke-14. Selain Natalia dan Anggoro, panitia juga menghadirkan pembahas-pembahas lain sperti Dr Eng Agus S. Muntohar dari PSW UMY dan Dr. Dina Ruslanjari dari Pusat Studi Bencana Univeristas Gadjah Mada (PSB UGM).

Share This Post

Berita Terkini