Berita

Kebakaran Hutan di Indonesia Juga Melibatkan Aktor Lokal

IMG_2273Kasus kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 2015 lalu di pulau Sumatera dan Kalimantan menjadi topik bahasan menarik bagi para peneliti untuk menganalisanya dari berbagai sudut pandang. Eko Priyo Purnomo, P.hD., dosen Ilmu Pemerintahan UMY, mengungkapkan bahwa selama ini perspektif masyarakat menilai bahwa kebakaran hutan disebabkan oleh oknum-oknum perusahaan minyak sawit. Namun, menurut Eko, pada kenyataannya petani lokal juga menyumbang kasus kebakaran hutan yang terjadi.

Hal tersebut ia sampaikan dalam sesi plenary International Conference on Social Politics (ICSP) 2016 hari kedua pada Rabu (27/01) di Ruang Sidang Pascasarjana lantai 4. Dalam pemaparannya Eko menyoroti sejauh mana aktifitas pembakaran hutan oleh industri kelapa sawit menyebabkan permasalahan kabut asap di Indonesia dan bagaimana pemilik lahan terlibat dalam kebijakan industri kelapa sawit serta siapa saja aktor yang terlibat dalam kebijakan tersebut.

“Ada beberapa aktor dalam industri kelapa sawit yang antara lain adalah perusahaan besar, perusahaan menengah, perusahaan kecil, petani yang memiliki lahan sebanyak 2 Hektar, komunitas kecil dan komunitas menengah,” jelas Eko. Komunitas Kecil dan Menengah yang dimaksud biasanya memiliki lahan kurang dari 25 ha dimana lahan tersebut menjadi kepemilikan bersama tanpa adanya jaminan finansial bagi para anggota komunitas. Sedangkan seharusnya, Eko menambahkan, setiap pemilik lahan harus memiliki STD-B (Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan untuk Budidaya). Namun kenyataannya mereka tidak memiliki STD-B tersebut sebelum mengolah lahan.

Keterlibatan petani lokal juga disebutkan dalam data yang dipresentasikan oleh Eko pada kasus kebakaran hutan di Riau. Eko menyebutkan dari total 3 juta hektar lahan yang ada di Riau, sebanyak 51% atau sebanyak 1.6 juta hektar ditanami oleh kelapa sawit. “Dari 1,6 juta hektar tersebut, 1 juta hektarnya dimiliki oleh perusahaan besar, dan 0.6 juta hektarnya dimiliki oleh petani skala kecil dan menengah,” terang Eko.

Pada intinya kasus kebakaran hutan di Indonesia melibatkan beberapa aktor termasuk aktor petani lokal. Standar petani lokal yang seharusnya memiliki STD-B namun tidak memilikinya, menurut analisis Eko, disebabkan oleh rumitnya birokrasi yang ada untuk mengurus izin kepemilikan lahan tersebut. Birokrasi rumit tersebut menurut Eko cenderung kepada Birokrasi Inertia. “Birokrasi inertia tersebut seperti, terlalu birokratis, tidak efisien, tidak dapat diadaptasi, hierarki, ditutup dan sering satu tindakan,” tambah Eko.

Pada hari kedua konferensi internasional ICSP 2016 ini, plenary session membahas tentang permasalah pada cluster ilmu pemerintahan. Dua keynote speaker lainnya yakni Sataporn Roengtam dari Khon Kaen University dan Jin-Wook Choi dari Korea University. Sataporn memaparkan bahasannya terkait Struktur Kekuatan Lokal yang membahas tentang tidak efektifnya sistem desentralisasi di Thailand. Sedangkan Jin-Wook Choi membahas tentang Manajemen Public yang baru dalam kasus Badan Layanan Umum di Indonesia.

Choi menyoroti permasalah ketidakefektifan Badan Layanan Umum di Indonesia yang selama 10 tahun menurutnya belum bisa meningkatkan pelayanannya kepada publik Indonesia. Usaha badan ini dalam meningkatkan layanan juga sangatlah terbatas. “Selain itu, faktor struktur pemerintah di Indonesia yang lemah dan lemahnya manajemen keuangan serta penilaian kinerja yang lemah menambah alasan tidak efektifnya Badan Layanan Umum di Indonesia,” jelas Choi.

Choi menambahkan bahwa tantangan utama dalam struktur Badan Layanan Umum (BLU) di Indonesia adalah tidak jelasnya peran dan tanggung jawab entitas yang berpartisipasi termasuk Departemen Keuangan, Kementerian dan BLU sendiri. “Kurangnya tenaga kerja dan kapasitas direktorat BLU untuk melakukan pengawasan kerja juga harus diperhatikan oleh pemerintah,” tutur Choi. Ia juga menjelaskan bagaimana masalah manajemen finansial dalam BLU yang menambah faktor mismanagement dalam BLU sendiri.

Dalam akhir presentasinya, Choi menjelaskan terkait rekomendasi kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia antara lain yaitu dengan memberikan otonomi dengan akuntabilitas. “Caranya adalah dengan membangun kembali mekanisme pengendalian internal melalui BLU, sehingga mereka dapat mengaudit dan memonitor tingkat kesehatan dalam manajemen keuangan internal,” terang Choi. Rekomendasi lainnya adalah dengan memanfaatkan mekanisme pengendali eksternal yang dipimpin oleh salah Dephut atau lembaga audit pemerintah lainnya. (Deansa)

Share This Post

Berita Terkini