Berita

Industri Agrikultur Harus Lakukan Improvisasi Untuk Hadapi Perubahan Iklim

Populasi penduduk pada saat ini adalah sebanyak 7,6 milyar jiwa, dan diperkirakan pada tahun 2050 angka tersebut akan mencapai 9,7 milyar jiwa. Angka tersebut menunjukkan perlu ada improvisasi yang dilakukan untuk mempersiapkan kebutuhan pangan dunia. Belum lagi dengan ancaman perubahan iklim seperti pemanasan global terhadap industri agrikultur mengharuskan adanya adaptasi untuk mengatasi juga mengurangi dampak dari perubahan iklim tersebut. Hal tersebut menjadi salah satu topik yang dibahas dalam The 4th Food, Agriculture and Natural Resources (FANRes) International Conference yang dilaksanakan di Hotel Cavinton, D.I. Yogyakarta. Acara tersebut akan berlangsung selama 2 hari mulai dari hari Rabu (12/9) hingga Kamis (13/9) dengan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) bertindak sebagai tuan rumah.

Rektor UMY, Dr. Ir Gunawan Budiyanto, M.P, yang juga merupakan dosen di Fakultas Pertanian (FP) UMY menyebutkan bahwa dalam waktu dekat akan ada perubahan kondisi cuaca baik secara global ataupun regional akibat climate change. “Pergeseran untuk kondisi cuaca lokal dan peningkatan frekuensi terjadinya cuaca ekstrem akan terjadi. Seperti kenaikan air laut yang kemudian dapat merusak lahan tanaman, dan peningkatan suhu permukaan bumi dimana hal tersebut akan secara langsung berpengaruh dalam mengurangi produksi dari industri pertanian,” ujarnya.

Gunawan menyebutkan bahwa perlu dilakukan improvisasi dalam industri pertanian untuk beradaptasi dan juga mengurangi efek dari climate change tersebut. “Kita perlu menerapkan teknik agrikultur yang mampu menopang produktivitas agro-ekosistem. Hal ini dapat dilaksanakan misalnya dengan; melakukan perbaikan teknis pengelolaan lahan dengan tidak melakukan pengolahan yang berlebihan seperti membakar lahan dan penggunaan pupuk sintetis; meningkatkan aplikasi bahan organik; meningkatkan C organi dalam tanah; dan juga melakukan penghijauan lahan,” jelasnya.

Prof. Patricia Rayas-Duarte, Oklahoma State University (OSU), selaku keynote speaker lainnya menyampaikan selain dengan perbaikan aspek produksi, untuk menyelesaikan tantangan pangan perlu memperhatikan aspek lain dari sistem pangan. “Selain aspek produksi dalam agrikultur, sistem pangan juga memeiliki aspek distribusi dan juga ketahanan pangan. Kedua hal tersebut perlu menjadi bagian dari ‘bisnis’ secara global, karena faktanya pengembangan dan penelitian untuk aspek agrikultur hanya berpusat di negara maju. Untuk itu negara lainnya perlu berkontribusi pada aspek lainnya,” ungkapnya.

“Keberlanjutan merupakan kunci dari perbaikan sistem pangan kita, dan untuk mencapai hal tersebut kita perlu berimprovisasi. Manfaatkan teknologi untuk membuat produksi, distribusi dan reservasi bahan pangan kita lebih efisien,” tutupnya.

Share This Post

Berita Terkini