Berita

Ilmu Pemerintahan UMY tawarkan rekomendasi Keistimewaan Yogyakarta

Setelah mengadakan polling tentang Keistimewaan Yogyakarta, Laboratorium Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (IP-UMY) kembali diskusi dan pemaparan naskah akademik terkait Keistimewaan Yogyakarta.

Setelah mengadakan polling tentang Keistimewaan Yogyakarta, Laboratorium Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (IP-UMY) kembali diskusi dan pemaparan naskah akademik terkait Keistimewaan Yogyakarta.

Diskusi yang bertema “Mendengar Suara Jogja” di Kampus Terpadu UMY, Jumat (7/1) ini dihadiri sejumlah kalangan, diantaranya kerabat Kasultanan, GBPH Prabukusomo, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Ganjar Pranowo, dan kerabat Pakualaman, KPH Indro Kusumo.

Laboratorium IP-UMY memberikan beberapa rekomendasi agar dalam RUUK, masyarakat DIY diberikan kewenangan untuk mengelola proses pengisian jabatan Gubernur sesuai dengan tradisi. Terkait dengan anggapan pemerintah pusat bahwa penetapan adalah ademokratis, rekomendasi yang diberikan adalah dengan konsensus sebagai counter wacana. Konsensus merupakan proses pengambilan keputusan tanpa pemungutan suara yang tetap dalam koridor demokrasi. Sementara pada tataran teknis masih perlu dikaji agar tawaran ini bisa operasional.

“Namun yang menjadi sangat penting adalah political will dari pemerintah pusat maupun kesediaan masyarakat Yogyakarta untuk menanggapi persoalan keistimewaan dengan rasional,” papar salah satu peneliti yang juga Dosen IP UMY, Tunjung Sulaksono, M.Si.

Dalam diskusi tersebut, Prabukusumo menilai hasil poling yang dilakukan Laboratorium IP UMY merupakan salah satu bentuk Tri Dharma Perguruan Tinggi sebagai pengabdian masyarakat dalam upaya memperjuangkan sejarah.

Prabu mengungkapkan terkait anggapan penetapan adalah ademokratis, Ia menilai bahwa apa yang diperjuangkan selama ini bukan masalah demokratis atau tidak, melainkan memperjuangkan sejarah. “Sejarah boleh berubah jika memang ada bukti yang signifikan,” jelasnya. Ia pun menyontohkan, jika dalam kerajaan, demokrasi pun masih diterapkan. Hal yang sama pun dilakukan saat Raja memberikan pengayoman kepada warganya. “Jadi yang diomongkan sekarang ini bukan masalah demokrasi atau tidak, namun perjuangan sejarah. Untuk memperjuangkan sejarah, rakyat Yogyakarta harus kompak,” tegas Prabu.

Prabu juga menyampaikan tiga hal yang harus masuk dalam RUU Keistimewaan Yogyakarta, yaitu adanya mekanisme yang jelas ketika Sultan menjadi Gubernur, Sultan tidak menginginkan menjadi Gubernur, dan ketika Sultan tidak bisa menjadi Gubernur. “Mekanisme tersebut harus diatur dengan jelas,” ujarnya.

Sebelumnya, Laboratorium IP-UMY melakukan polling mengenai Keistimewaan Yogyakarta pada empat kabupaten dan satu kota di Yogyakarta dan menghasilkan bahwa 96,6% penduduk DIY mendukung Keistimewaan, 97,5% penduduk lulusan perguruan tinggi juga mendukung Keistimewaan, 93,2% penduduk DIY mendukung penetapan Sultan sebagai Gubernur, penduduk lulusan perguruan tinggi mendukung penetapan, dan wilayah loyalis Keistimewaan ada di Gunung Kidul dan paling rendah adalah Bantul.

Share This Post

Berita Terkini