Berita

Dosen UMY Tanggapi Gugatan Pra-peradilan Setnov

Cepi Iskandar kini menjadi pembicaraan publik. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu memenangkan gugatan praperadilan Setya Novanto (Setnov) atas penetapan dirinya sebagai tersangka korupsi Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal, Setnov dianggap terlibat dalam korupsi proyek e-KTP yang memakan biaya triliunan rupiah. Setnov juga diduga merugikan negara hingga Rp. 2,3 triliun karena ikut mengarahkan penentuan pemenang tender. Dalam dakwaan pelaku lain skandal ini, Setnov juga disebut mendapat jatah 11 persen dari nilai proyek sekitar Rp 574 miliar.

Menanggapi hal tersebut, tim Biro Humas dan Protokoler (BHP) berkesempatan mewawancarai Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum, untuk memberikan opininya tentang gugatan Pra-peradilan yang diajukan oleh Setnov. Trisno menyebutkan bahwa Pra-peradilan adalah sebuah lembaga yang mempunyai wewenang untuk memeriksa sebuah proses dalam perkara pidana. Seperti yang diatur dalam UU no. 8 tahun ’81 KUHP proses tersebut adalah apakah dilakukan secara sah atau tidak penangkapan; penahanan; penghentian penyidikan; dan penghentian penuntutan. Hal tersebut ditambah dengan keputusan MK yang menambahkan poin penetapan tersangka dan penyitaan. Fungsi-fungsi tersebut berguna untuk menguji legal atau tidaknya tindakan yang dilakukan oleh aparat keamanan.

Pra-peradilan dapat digunakan oleh pihak yang berkepentingan yaitu tersangka dan pihak ketiga, atau oleh penyidik. “Pra-peradilan dapat digunakan oleh tersangka atau pihak ketiga seperti keluarga dari pihak yang disangkakan, yang merasa ada ketidaksesuaian dalam pelaksaan proses hukum yang berlaku seperti penangkapan, penetapan status tersangka dari seseorang. Pra-peradilan bisa pula digunakan oleh penyidik jika terjadi penghentian penuntutan dalam kasus yang diperiksa oleh kejaksaan, atau oleh Jaksa ketika SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) sudah diberikan akan tetapi penyidikan diberhentikan sehingga jaksa dapat mengetahui alasan penghentian penyidikan. Dalam sejarah kita Pra-pradilan sendiri belum pernah digunakan oleh Penyidik maupun Jaksa, pada umumnya dilakukan oleh tersangka ataupun pihak ketiga,” ungkap Trisno saat diwawancarai pada Jum’at (6/10).

Menurut Trisno, Pra-peradilan pertama kali diajukan oleh Budi Gunawan ketika ia dijadikan tersangka oleh KPK dalam kasus korupsi di Polisi Republik indonesia. Hal tersebut sempat menjadi isu karena Mahkamah Konstitusi (MK) belum memberikan keputusan mengenai penggugatan status tersangka pada saat itu. Hingga pada akhirnya, pengadilan dianggap melampaui kewenangannya dan Budi Gunawan mampu mengambil tindakan hukum yang berujung dicabutnya status tersangkanya. “Saat ini hal tersebut sudah tidak memungkinkan lagi karena MK sudah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) no. 4 tahun 2016 yang kaitannya dengan larangan untuk meninjau kembali putusan Pra-peradilan. Namun demikaian Pra-peradilan dapat diputus pada tingkat pertama sebelum mengeluarkan putusan,” ujarnya.

“Pra-peradilan yang menguji sah atau tidaknya penetapan tersangka sebelumnya sudah pernah terjadi, misal kasus Budi Gunawan dan pada Hadi Poernomo mantan Ketua Badan pemeriksa Keuangan. Yang diuji dalam Pra-peradilan sesuai dengan ketentuan perma, sebenarnya hanya mengecek saja apakah sudah terdapat dua alat bukti dalam penyidikannya. Kalau sudah terdapat 2 alat bukti maka seharusnya penyidikan yang dilakukan sudah benar,” sambung Trisno melanjutkan.

Menanggapi penghentian status tersangka Setnov, Trisno mengatakan bahwa konstruksinya harus dipahami terlebih dahulu. “Apakah perkara tersebut melibatkan banyak orang atau tidak. Nyatanya memang kasus e-ktp tersebut melibatkan banyak pihak. Dalam kasus seperti ini penyidik KPK dapat menggunakan teknik Penyidikan Turut Serta dalam mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan untuk menetapkan status tersangka. Kalau memang konstruksi kasusnya seperti itu, maka saya tidak setuju dengan alasan pertimbangan hakim yang meminta agar bukti-bukti untuk menjadikan Setnov sebagai tersangka dikumpulkan ulang. Mengenai alasan kenapa Setnov dapat mengajukan gugatan status tersangkanya ke Pra-peradilan adalah karena dalam berkas putusan pada persidangan kasus Kementrian Dalam Negeri tidak didapati peran Setnov di dalam kasus tersebut, ini yang kemudian dikaitkan dalam gugatan tersangka,” papar Trisno.

“Yang menjadi pertanyaan adalah apakah KPK hanya memiliki satu bukti itu saja? Tidak. Bukti-bukti yang lain masih ada akan tetapi hakim Pra-peradilan mengatakan bahwa bukti-bukti yang sudah digunakan untuk kasus lain tidak dapat digunakan lagi untuk kasus yang lain. Padahal kasus ini melibatkan banyak orang dan menurut teknik Penyidikan Turut Serta bukti yang ada dapat digunakan untuk mencakup seluruh pihak yang terlibat,” lanjut Trisno.

Hakim juga menolak untuk mendengarkan rekaman yang menjadi alat bukti dalam persidangan Pra-peradilan tersebut. “Perdebatan dalam ­Sidang Pra-peradilan adalah apakah KPK memiliki 2 alat bukti untuk menetapkan status tersangka Setnov. Rekaman yang dimiliki oleh KPK juga dapat menjadi alat bukti apabila dijelaskan oleh ahli, akan tetapi Hakim menolak rekaman tersebut diperdengarkan. Harusnya itu tidak boleh dilakukan oleh hakim, karena itu termasuk barang bukti dan merupakan bagian dari pembuktian prosedur milik KPK,” ujarnya lagi.

Penolakan Hakim tersebut kemudian membatalkan usaha KPK untuk membuktikan 2 alat bukti yang mereka miliki. “Seharusnya Hakim tidak menolak untuk memperdengarkan alat bukti rekaman tersebut, ini agar prosedur yang dilakukan KPK dalam menghadirkan 2 alat bukti dapat dilakukan. Hakim jangan hanya bersandar pada bukti formal saja (putusan berkas .red) akan tetapi juga harus memeriksa bukti materil yang diajukan,” papar Trisno lagi.

Trisno menyarankan agar Mahkamah Agung (MA) memberikan pengertian yang lebih rigid mengenai 2 alat bukti. “Kasus yang terjadi saat ini memberikan kita pengetahuan bahwa masing-masing Hakim memiliki pengertian yang berbeda mengenai Perma Nomor 4 tahun 2016 berkaitan dengan 2 alat bukti. Saran saya sebagai akademisi agar MA dapat mengeluarkan sebuah putusan baru untuk memberikan penegasan apa yang dimaksud dengan 2 alat bukti yang cukup untuk menetapkan status tersangka seseorang. Sehingga putusan itu bisa menjadi pedoman agar tidak ada penafsiran yang berbeda-beda. Supaya hakim tidak menghabiskan waktu mengurusi persoalan administratif saja seperti pengambilan sprindik dari mana, akan tetapi langsung mengurusi bukti-bukti yang sudah diajukan,” tutur Trisno.

Dengan adanya peraturan atau surat edaran tersebut Trisno berkeyakinan akan memudahkan dalam pengambilan keputusan. “Kalau itu ada, saya berkeyakinan akan memudahkan hakim untuk mengambil sikap. Dengan pedoman itu juga tidak akan menjadikan hakim terkukung. Dan masyarakat bisa melakukan penilaian secara objektif bahwa putusannya bisa diterima dengan benar. Namun untuk sekarang banyak perlawanan, karena batu ujinya tidak cukup jelas,” tutupnya. (raditia/zaki)

Share This Post

Berita Terkini