Berita

Antisipasi Berkurangnya Bahan Bakar Fosil, melalui Pengembangan Biofuel

Pengembangan biofuel sangat diperlukan untuk mengantisipasi semakin berkurangnya cadangan minyak fosil atau bahan bakar fosil. Terlebih Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam yang sangat mendukung produksi biofuels. Sehingga diperlukan sinergi masyarakat, pemerintah, lembaga penelitian dan perguruan tinggi untuk meramu model pengembangan biofuels yang tepat untuk masing-masing daerah.

Pengembangan biofuel sangat diperlukan untuk mengantisipasi semakin berkurangnya cadangan minyak fosil atau bahan bakar fosil. Terlebih Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam yang sangat mendukung produksi biofuels. Sehingga diperlukan sinergi masyarakat, pemerintah, lembaga penelitian dan perguruan tinggi untuk meramu model pengembangan biofuels yang tepat untuk masing-masing daerah.

Demikian disampaikan peneliti dari Lembaga Lingkungan Hidup Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta, Dr. Ir. Mohammad Nurcholis, M.Agr dalam workshop bidang Energi Terbarukan dengan tema ‘Membangun masyarakat Mandiri Energi’ di Asri Medical Center-Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (AMC-UMY) Rabu (5/5). Workshop ini diselenggarakan oleh Pusat Studi Pengelolaan Energi Regional (PUSPER) UMY dengan Center Novem Belanda melalui proyek INDF

Menurutnya keberhasilan pengembangan biofuels dapat terlaksana dengan baik jika antara pemerintah, Perguruan Tinggi (PT), lembaga penelitian, perusahaan dan petani terjadi kerjasama yang baik. “PT dan lembaga penelitian melalui Sumber Daya Manusia (SDM) dan Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki tentang pengembangan biofuels, pemerintah melalui kebijakan dan regulasinya, perusahaan dengan dukungan finansialnya. Ketiga-tiganya kemudian terjun ke desa yang banyak lahan pertaniannya berhubungan dengan petani untuk mengembangkan biofuel”urainya.

keberhasilan pengembangan biofuels juga dapat dilakukan dengan meningkatkan kemanfaatan produk penghasil biofuels. Sehingga orientasi produk tidak hanya untuk biofuel tetapi dapat juga sebagai pakan ternak, pupuk organik serta meminimalkan produk atau limbah yang terbuang.

“Misalnya pada pengembangan biofuel dengan menggunakan sorgum manis. Sorgum manis diambil niranya kemudian dijadikan bioetanol. Ampas dari pengambilan nira tersebut kemudian digunakan untuk pakan ternak sapi. Kotoran dari ternak sapi tersebut selanjutnya dijadikan biogas, sisa kotoran yang dijadikan biogas menjadi pupuk organik yang dapat dimanfaatkan untuk memupuk sorgum manis. Ada keterpaduan dalam memproduksi bahan baku biofuel yaitu antar pertanian dan peternakan. Sehingga semua bagian dari produk tersebut benar-benar dimanfaatkan dan tidak terbuang sia-sia.” jelas Nurcholis.

Sementara itu Peneliti dari PUSPER-UMY, Saibun, S.T menambahkan biogas yang dihasilkan dari kotoran sapi maupun hewan lain seperti babi maupun kerbau tidak berbau dan berwarna, kemudian apabila dibakar akan menghasilkan nyala biru seperti gas LPG. “Untuk memperoleh biogas yang baik, kotoran-kotoran sapi tersebut mengalami proses pemurnian. Proses pemurnian dilakukan untuk menghilangkan semua zat yang ikut tercampur, seperti CO2,H2S,H2o dll. Jika zat-zat tersebut masih ikut tercampur, zat-zat tersebut akan menggangu proses pembakaran yang terjadi. Sehingga semakin bagus proses pemurnian, api pembakaran yang dihasilkan juga semakin baik.” pungkasnya.

Share This Post

Berita Terkini